Banda Aceh – Pertemuan Mualem dengan Najwa Shihab di tengah bencana Aceh menyisakan sebuah momen yang berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Ketika Najwa menanyakan apakah tidak ditetapkannya status bencana nasional telah menyulitkan dirinya sebagai gubernur dalam menangani bencana besar ini, Mualem hanya menjawab pendek:
“Saya hanya berusaha, hanya berdoa.”
Sejenak kemudian, ia menunduk, mengusap wajah, dan menahan sesuatu yang jelas terlihat dari getaran suara: tangis. Tangis yang bukan karena kelemahan, melainkan karena memikul beban yang terlalu berat—dan merasa dibiarkan sendirian.
Momen itu merupakan kesaksian terbuka tentang betapa besar kekecewaan yang sedang dipendam Mualem. Ia seolah bingung harus berkata apa kepada Najwa yang duduk hanya beberapa jengkal dari wajahnya. Dalam keadaan demikian, Najwa menjadi saksi yang menangkap apa yang tidak terucapkan oleh sang gubernur.
Seakan tak ingin meninggalkan pertanyaan besar di ruang hening itu, Mualem kemudian melanjutkan ucapannya:
“Kalau kita bergantung pada manusia, kita kecewa. Tapi kalau kita bergantung pada Allah, kita terima semua apa adanya.”
Kalimat ini bukan sekadar refleksi spiritual, tetapi juga isyarat emosional bahwa ia merasakan ketidakadilan yang sulit ia sampaikan secara langsung.
Bencana Besar, Tapi Tak Juga Nasional
Wajar bila Mualem kecewa. Apa yang ia saksikan dari helikopter—hamparan banjir, rumah tersapu, warga terisolasi—adalah tragedi kemanusiaan dalam skala yang sulit ditangani tanpa intervensi negara. Namun, hingga kini, pemerintah pusat belum menetapkan Aceh sebagai bencana nasional.
Ini menjadi pelik karena Prabowo bukan sosok asing bagi rakyat Aceh. Hubungan politik di antara mereka bukan hanya formal, tetapi juga dibangun atas kedekatan dan loyalitas yang telah berlangsung bertahun-tahun. Dukungan Aceh kepada Prabowo dalam setiap kontestasi politik bukan dukungan kosong.
Namun dalam momen paling kritis ini, status yang menjadi kunci masuknya bantuan internasional justru tak kunjung ditetapkan. Padahal sejumlah negara sudah menyatakan kesiapannya membantu. Bahkan kabarnya, bantuan dari Malaysia pun belum mendapat lampu hijau, kecuali yang sifatnya pribadi kepada Aceh.
Kekecewaan itu memuncak dalam pernyataan keras Mualem:
“Mereka tolong kita, masak kita persulit, kan bodoh!”
Ucapan yang menghantam tepat di ulu hati siapa pun yang menghambat masuknya bantuan asing. Dan sulit untuk tidak membaca pernyataan ini sebagai sindiran yang diarahkan pada keputusan—atau ketidakputusan—pemerintah pusat. Apakah ini isyarat bahwa Mualem telah ‘meninggalkan’ Prabowo dalam penanganan bencana Aceh?
Foto Kedekatan yang Kontras Dengan Kenyataan
Sementara itu, publik masih terus disuguhi visual kedekatan antara Prabowo dan Mualem. Foto mereka berpelukan, duduk di mobil bersama, berjalan di bandara, hingga kunjungan Presiden ke Bireuen—semua menggambarkan relasi hangat.
Namun, kedekatan visual tak selalu sejalan dengan keputusan politik.
Dukungan yang paling ditunggu rakyat Aceh—status bencana nasional—tak kunjung turun.
Padahal sejarah mencatat, saat Indonesia berada di ambang hancur pada masa Agresi Militer II, suara dari Gayo, dari Tengah, dari Aceh pernah menggema:
“Indonesia masih ada.”
Namun kini, saat Aceh yang sekarat, kepedihan muncul karena Indonesia justru seakan tidak hadir sepenuhnya.
Dari seluruh rangkaian peristiwa, publik membaca sebuah isyarat:
Mualem kecewa. Sangat kecewa.
Dan kekecewaan itu, bagi sebagian orang, tampak seperti langkah pelan tapi pasti menjauh dari Prabowo.
Selebihnya, ruang interpretasi kini berada di tangan publik.
Netizen yang akan menafsirkan, menimbang, dan menilai arah angin politik yang sedang berubah di Aceh.(**)












