Banda Aceh – Dorongan agar rakyat menambang sendiri lewat Qanun Tambang Rakyat terdengar mulia. Tapi apakah pengusungnya benar-benar paham industri pertambangan, atau cuma ingin pamer keberanian tanpa konsekuensi?
Pertambangan bukan sekadar dulang, tembilang, atau beliung. Ia sistem kompleks yang menuntut pengetahuan, kepedulian lingkungan, dan modal besar. Semangat tanpa ilmu bisa membuat rakyat menjadi alat eksploitasi massal, merusak bumi, dan menimbulkan bencana ekologis, sosial, bahkan ekonomi. Niat baik tanpa kapasitas bisa berakhir tragis.
Lihat Qatar, UEA, atau Kuwait: rakyatnya tidak disuruh memegang sekop, menambang emas, atau mengorek tanah. Mereka menikmati manfaat negara lewat subsidi, layanan publik, dan transfer pendapatan. Rutinitas rakyat mirip kita—ngopi, bekerja, berdiskusi—tapi kehidupan mereka dijamin pemerintah. Tidak ada yang repot “menjadi tambang berjalan”.
Aceh punya emas, minyak, gas, tembaga, kelautan, perkebunan, perikanan, bahkan budaya yang kaya. Kenapa kita malah mau menyuruh rakyat menggali sendiri? Bukankah rakyat seharusnya menikmati hasil secara bermartabat, hidup tenang, dan menerima tamu dengan megah, sementara pemerintah yang mengelola aset dengan profesional?
Tanpa tata kelola yang solid, Qanun Tambang Rakyat bukan kemakmuran; ia adalah jebakan rapuh yang bisa memunculkan bencana. Jangan sampai niat membela rakyat justru merugikan mereka—dan bumi—selamanya.