Jakarta – Kreator konten dan pengamat isu sosial asal Aceh, Sherly Annavita, melontarkan kritik tajam terhadap penanganan bencana di Sumatra, khususnya di Provinsi Aceh. Ia menilai respons pemerintah masih terkesan lambat dan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan paling mendasar masyarakat terdampak.
Dalam perbincangan eksklusif di program “TO THE POINT AJA!” yang tayang di YouTube SINDOnews, Sherly mengungkapkan bahwa hingga tiga pekan pascabencana, masih banyak warga yang kesulitan memperoleh logistik dasar, terutama beras, sebagai kebutuhan utama sehari-hari.
“Sudah tiga minggu pascabencana, tapi masih banyak masyarakat yang berjuang untuk mendapatkan kebutuhan paling dasar, yaitu beras. Ini tentu sangat memprihatinkan,” ujar Sherly.
Ia kemudian menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat di beberapa wilayah terdampak, salah satunya Takengon dan sebagian wilayah Aceh Selatan, yang mayoritas penduduknya bergantung pada sektor perkebunan dan pertanian. Menurutnya, setelah bencana, masyarakat terpaksa memikul hasil kebun seperti cabai, kentang, ubi, dan komoditas lainnya untuk dibawa dan dijual ke daerah lain, termasuk ke Lhokseumawe, demi bertahan hidup.
Namun, kondisi di daerah tujuan penjualan pun tidak sepenuhnya lebih baik. Daya beli masyarakat Lhokseumawe, kata Sherly, juga terbatas akibat dampak ekonomi yang meluas pascabencana.
“Masyarakat Lhokseumawe pun membeli sebisanya. Jadi ini seperti lingkaran masalah. Yang terdampak bencana mencoba bertahan hidup dengan menjual hasil kebun, sementara daerah lain juga tidak dalam kondisi ekonomi yang kuat,” jelasnya.
Dalam situasi tersebut, Sherly menyoroti peran relawan yang justru tampil dengan berbagai inisiatif kreatif untuk membantu pemulihan ekonomi masyarakat. Salah satu ide yang muncul adalah menjual hasil kebun masyarakat Aceh ke luar daerah, bahkan ke luar Aceh, agar mendapatkan harga yang lebih layak.
Namun, di balik inisiatif tersebut, Sherly melihat adanya persoalan yang lebih mendasar.
“Kemudian ada relawan yang punya ide agar cabai-cabai ini dijual ke luar Aceh. Ini justru menjadi aneh. Kalau ide dan gagasan untuk mengembalikan kondisi ekonomi masyarakat justru datang dari relawan, maka kita tahu ada spot kosong yang tidak diisi oleh pemerintah,” tegasnya.
Menurut Sherly, relawan memang memiliki peran penting dalam kondisi darurat, tetapi pemulihan ekonomi dan distribusi logistik seharusnya menjadi tanggung jawab utama pemerintah. Ia menilai kurangnya kehadiran negara dalam fase pemulihan ini berpotensi memperpanjang penderitaan masyarakat terdampak.
Sherly juga mengingatkan bahwa bencana tidak hanya berdampak pada kerusakan fisik, tetapi juga pada ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, penanganan bencana harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar, pemulihan mata pencaharian, hingga perencanaan jangka panjang agar masyarakat bisa bangkit secara mandiri.
Pernyataan Sherly Annavita ini kembali membuka ruang diskusi publik mengenai efektivitas penanganan bencana di Aceh dan Sumatra secara umum, serta menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, relawan, dan masyarakat dalam menghadapi krisis kemanusiaan.(**)
Perbincangan lengkap Sherly Annavita terkait isu ini dapat disimak dalam program “TO THE POINT AJA!” secara eksklusif di YouTube SINDOnews.












