Karang Baru, Dailymail Indonesia
DI LANTAI II Gedung DPRK Aceh Tamiang, Senin siang, 22 Desember 2025, suasana itu terasa berbeda. Tak ada hiruk pikuk konferensi pers, tak pula sorotan kamera yang biasa memburu pernyataan pejabat.
Yang hadir adalah para wartawan (orang-orang yang selama ini berdiri di balik berita) kini duduk sebagai korban.
Mereka adalah jurnalis dari perusahaan media anggota Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) Aceh, yang dalam beberapa pekan terakhir ikut terdampak bencana ekologis meteorologi paling parah yang pernah melanda Aceh Tamiang.
Rumah terendam, peralatan kerja rusak, jalur distribusi berita terputus, dan sendi ekonomi keluarga ikut luluh lantak.
Siang itu, SPS Aceh menyalurkan bantuan sembako. Bukan angka besar, bukan pula solusi tuntas.
Namun bagi para wartawan yang hidupnya ikut terseret arus banjir berlumpur, bantuan itu menjadi penanda penting: bahwa mereka tidak sendirian.
Paket sembako diserahkan secara simbolis oleh Ketua SPS Aceh, Muktaruddin, kepada Kepala Biro Aceh Tamiang Media Aceh, Sayed Zainal M, SH, di Media Center Bersama Wartawan Peliput Bencana Ekologis. Sebuah ruang yang selama ini menjadi pusat liputan, kini berubah menjadi ruang empati.
WARTAWAN DI TENGAH PUING
ACEH TAMIANG bukan sekadar mengalami banjir biasa. Bencana ini datang dengan lumpur pekat, gelondongan kayu dari hulu, longsor tanah, dan arus deras yang menyeret apa saja di hadapannya. Jalan terputus. Jembatan ambruk. Rumah, sekolah, dan gedung publik dihantam log hingga rata dengan tanah.
Di tengah situasi itu, wartawan tetap bekerja. Mereka menembus genangan, melintasi jalan rusak, menulis dengan listrik seadanya, bahkan mengirim berita dari ponsel yang hampir kehabisan daya.
Ironisnya, di saat yang sama, sebagian dari mereka juga kehilangan rumah, kendaraan, dan alat kerja.
“Ini bukan hanya bencana alam. Ini bencana ekologi,” kata Sayed Zainal, lirih namun tegas.
Ia menekankan, kerusakan hulu, pembiaran lingkungan, dan eksploitasi yang tak terkendali telah menciptakan rangkaian kehancuran dari gunung ke hilir. Wartawan hanya mencatat, tapi mereka pun ikut menanggung akibatnya.
ULURAN YANG MENYENTUH
MUKTARUDDIN, yang juga CEO Media Aceh dan mediaaceh.co.id, berdiri di hadapan para wartawan dengan suara bergetar. Ia tidak berbicara sebagai pemilik media atau pimpinan organisasi semata, tetapi sebagai sesama insan pers yang memahami getirnya hidup di lapangan.
“Bencana ini datang dari Allah SWT. Pasti ada hikmah di baliknya,” ucap Muktar. “Tapi kita juga tidak boleh terlena. Ayo bangkit. Sendi-sendi ekonomi kita memang porak-poranda, tapi bukan berarti kita berhenti berjuang.”
Ia mengingatkan bahwa tidak ada musibah yang datang selamanya. Semua akan berlalu. Yang tersisa adalah bagaimana manusia menyikapinya—apakah tenggelam dalam keputusasaan atau bangkit dengan kesadaran baru.
Di hadapan para wartawan Aceh Tamiang, Muktar mengajak untuk bersabar, bertawakal, dan terus berikhtiar. Bukan hanya untuk pulih, tetapi untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
“Tidak ada bencana yang tidak reda, dan tidak ada musibah yang berkepanjangan. Semua pasti berhenti dan berlalu. Saatnya wartawan Aceh Tamiang menata kembali sendi ekonomi yang luluh lantak ini, dan bangkit bersama.”
[MUKTARUDDIN | CEO MEDIA ACEH DAN KETUA SPS ACEH].
LEBIH DARI SEKADAR SEMBAKO
BAGI Sayed Zainal, bantuan ini bukan semata soal isi paket sembako. Ia adalah “bentangan bertahan hidup”; tambahan napas di tengah tekanan ekonomi yang menyesakkan.
“Ini sangat membantu. Memberikan waktu dan ruang bagi kami untuk bertahan,” ujar Sayed.
Namun ia juga menyampaikan harapan yang lebih luas. Ke depan, SPS Aceh diharapkan dapat menjangkau wartawan secara umum, tidak terbatas pada perusahaan media anggota SPS saja. Sebab bencana tidak memilih kartu keanggotaan.
Aceh Tamiang, kata Sayed, adalah daerah yang paling parah terdampak dibanding wilayah lain di dua provinsi tetangga—Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Dampaknya tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis dan ekonomi, termasuk bagi insan pers.
DI ANTARA PROFESIONALISME DAN LUKA PRIBADI
DALAM liputan bencana, wartawan sering dituntut objektif, tenang, dan profesional. Namun di Aceh Tamiang, batas antara peliput dan korban nyaris tak terlihat.
Ada wartawan yang meliput rumah warga hanyut, sementara rumahnya sendiri terendam. Ada yang menulis tentang jembatan ambruk, sementara akses ke kampungnya terputus. Ada pula yang menyiarkan kabar duka, sambil menyembunyikan kegelisahan keluarga di rumah pengungsian.
“Semua sudah bekerja maksimal sesuai porsinya,” kata Sayed. “Pemerintah, TNI-Polri, elemen sipil, civil society, lembaga donor, dan relawan—semuanya sudah bergerak.”
Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk berhenti saling menyalahkan. Energi itu lebih baik diarahkan untuk pemulihan bersama.
“Stop saling menyalahkan, karena tidak ada ujungnya. Mari kita bangkit bersama, meski tertatih, untuk menatap masa depan yang lebih baik. Ini bukan bencana biasa, ini bencana ekologi—akibat ulah manusia.”
[SAYED ZAINAL | KEPALA BIRO MEDIA ACEH].
MUNAJAT DI TENGAH PUING
DI AKHIR sambutannya, Sayed mengajak semua yang hadir untuk bermunajat—memohon agar Aceh Tamiang dijauhkan dari marabahaya, dari bencana yang berulang, dan diberi kekuatan untuk berbenah.
Bencana ini, katanya, harus menjadi cermin. Bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga masyarakat, pelaku usaha, dan semua pihak yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.
Jika hutan terus ditebang, sungai dipersempit, dan lingkungan diperlakukan tanpa nurani, maka banjir dan lumpur akan terus datang—dengan atau tanpa hujan ekstrem.
Pers sebagai Penjaga Ingatan
Di tengah krisis, peran wartawan menjadi semakin penting. Mereka bukan hanya penyampai informasi, tetapi penjaga ingatan kolektif. Mereka mencatat luka, menuliskan sebab, dan mengingatkan agar tragedi tidak terulang.
Namun untuk bisa menjalankan peran itu, wartawan juga harus dijaga. Bukan dimanjakan, tetapi dipastikan mampu bertahan secara manusiawi.
Bantuan sembako dari SPS Aceh mungkin sederhana, tetapi ia memuat pesan besar; solidaritas internal pers masih hidup. Di tengah bencana ekologi yang membuka banyak borok struktural, empati menjadi energi awal untuk bangkit.
DARI LUKA MENUJU KESADARAN
ACEH TAMIANG hari ini adalah hamparan luka. Lumpur yang mengering di dinding rumah, jembatan yang patah, dan ingatan tentang air bah yang datang tanpa ampun. Namun di balik semua itu, ada kesadaran yang mulai tumbuh—bahwa bencana ini bukan semata takdir, melainkan peringatan.
Para wartawan yang duduk di Media Center siang itu tahu, tugas mereka belum selesai. Justru baru dimulai. Mereka akan terus menulis, bertanya, dan mengingatkan; tentang lingkungan yang rusak, tentang kebijakan yang abai, dan tentang manusia yang sering lupa batas.
Dengan langkah tertatih, mereka bangkit. Dengan solidaritas, mereka bertahan. Dan dengan kesadaran baru, Aceh Tamiang perlahan menatap masa depan—lebih waspada, lebih jujur pada alam, dan lebih manusiawi pada sesama.










