Aceh – Aceh yang selama ini dibanggakan sebagai Nanggroe Syariah kini menghadapi ujian nurani yang berat. Di tengah musibah dan himpitan ekonomi, yang mencuat justru praktik-praktik yang mengindikasikan kemerosotan moral.
Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik Aceh, Isa Alima, menilai kondisi ini sebagai ironi. Menurutnya, persoalan Aceh hari ini bukan sekadar kekurangan aturan, melainkan kehilangan ruh dan akhlak dalam implementasinya.
“Syariah tidak hanya tentang spanduk dan slogan. Ia tercermin dalam perilaku. Ketika musibah datang, harga melambung, bantuan diselewengkan, dan kepedulian diukur dengan kepentingan pribadi, di situlah kita harus mengakui: nurani kita terluka,” tegas Isa Alima.
Ia menyoroti beberapa contoh perilaku yang memprihatinkan, seperti misalnya: penimbunan sembako, menaikan harga seenaknya serta praktik korupsi dalam penyaluran bantuan, dll. Menurutnya, hal ini mencerminkan hilangnya nilai-nilai keadilan dan empati di tengah masyarakat.
“Kalau keadilan hanya hadir saat kita senang, itu bukan syariah. Itu adalah kemunafikan sosial yang merusak tatanan masyarakat,” imbuhnya.
Isa Alima menekankan bahwa bencana seharusnya memicu solidaritas, bukan malah membuka celah bagi keserakahan. Tanpa perbaikan perilaku, regulasi dan penegakan hukum akan kehilangan makna.
“Kita boleh bangga dengan sebutan Serambi Mekkah, tetapi jika rasa malu hilang dan hati membatu, sebutan itu hanya menjadi formalitas. Aceh yang teuleubeh bukan hanya soal hukum, tapi tentang akhlak yang mulia,” pungkasnya.
Pernyataan ini menjadi seruan bagi seluruh elemen masyarakat untuk merenungkan kembali nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Membangun Aceh yang lebih baik membutuhkan kejujuran, empati, dan keberanian untuk memanusiakan manusia, terutama di saat-saat sulit.












