Wali Nanggroe Warning Keras: “Aceh Seperti Diterkam Singa dan Hyena” — Eksploitasi Alam Disebut Kian Membabi Buta

Breakingnews119 Dilihat

Aceh – Suasana pertemuan Silaturrahmi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh yang awalnya berlangsung tenang mendadak berubah tegang ketika Wali Nanggroe Aceh menyampaikan peringatan keras mengenai kondisi ekologis dan pengelolaan sumber daya alam Aceh hari ini.

Dalam pidatonya, Wali Nanggroe menggambarkan Aceh sebagai wilayah yang sedang “diterkam singa dan hyena”—sebuah kiasan tajam yang merujuk pada praktik eksploitasi sumber daya yang menurutnya dilakukan pihak luar tanpa kontrol memadai.

“Hasil alam Aceh dikeruk untuk kepentingan pihak luar. Aceh seperti diterkam singa dan hyena, dan kita hanya bisa melihat, takut untuk bersuara,” ujarnya lantang, Selasa (9/12/2025), di Meuligoe Wali Nanggroe.

Krisis Ekologis Dipicu Pola Eksploitasi Berulang

Silaturrahmi tersebut dihadiri Ketua SMSI Aceh Aldin NL bersama jajaran pengurus. Di hadapan peserta, Wali Nanggroe menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di Aceh bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi dari perizinan longgar dan pengelolaan sumber daya yang tidak berpihak kepada rakyat.

Menurutnya, kerusakan hutan di sejumlah kabupaten telah memicu rangkaian bencana ekologis seperti banjir bandang, longsor, hingga krisis air bersih di berbagai wilayah—mulai dari Aceh Tamiang hingga Aceh Utara dan kawasan tengah Aceh.

“Pusat beri izin, tanah-tanah Aceh dikelola orang luar. Kita terus dijajah. Tidak ada yang berani bersuara. Ini sangat menyedihkan,” tambahnya dengan nada getir.

Pernyataan tersebut membuat ruangan sontak hening. Beberapa peserta terlihat mengangguk mengiyakan, sementara lainnya terdiam dalam kecemasan yang tak terucap. Namun hampir semua sepakat bahwa kondisi Aceh saat ini menunjukkan tanda-tanda kelelahan ekologis akibat eksploitasi bertahun-tahun.

Peringatan untuk Para Pemangku Kebijakan

Melalui ilustrasi keras itu, Wali Nanggroe menyampaikan peringatan kepada seluruh pemangku kepentingan di Aceh agar tidak diam terhadap degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan yang masif. Ia menilai Aceh berada pada titik kritis: antara mempertahankan kedaulatan sumber daya atau menjadi korban pengerukan tanpa akhir.

Peringatan tersebut menjadi pengingat bahwa bencana besar yang kini melanda Aceh bukanlah peristiwa tunggal, melainkan tanda bahaya terhadap rapuhnya benteng ekologis Serambi Mekkah.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *