Jakarta – Pemerintah akan merevisi sejumlah regulasi terkait skema pembiayaan Koperasi Merah Putih. Salah satu perubahan paling signifikan adalah penetapan skema pembayaran cicilan menggunakan dana desa, yang mencapai Rp 40 triliun per tahun selama enam tahun.
Revisi ini dilakukan setelah Presiden menerbitkan dua regulasi baru: Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang percepatan pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Merah Putih pada 22 Oktober 2025, serta Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Sebagai tindak lanjut, sejumlah kementerian sebelumnya menerbitkan aturan teknis, seperti PMK Nomor 49 Tahun 2025 tentang tata cara pinjaman dalam rangka pendanaan Koperasi Merah Putih, dan Permendes Nomor 10 Tahun 2025 terkait mekanisme persetujuan kepala desa dalam pembiayaan koperasi. Namun, kedua aturan tersebut kini dinyatakan tidak berlaku.
Dana Desa Jadi Sumber Pembayaran Cicilan
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa dengan berlakunya Inpres No 17/2025, PMK 49/2025 otomatis dicabut. Meski demikian, pemerintah tetap memastikan bahwa pembayaran cicilan Koperasi Merah Putih akan menggunakan alokasi dana desa.
“PMK itu tidak berlaku, direvisi. Tapi dana desa Rp 60 triliun (tahun anggaran 2026), dan sekitar Rp 40 triliun per tahun digunakan untuk mencicil Koperasi Merah Putih selama enam tahun,” ujar Purbaya dalam media briefing di Jakarta, Jumat (14/11/2025).
Dalam RAPBN 2026, pemerintah mengalokasikan Rp 60 triliun dana desa, sehingga lebih dari 60 persen akan dialokasikan khusus untuk membayar cicilan pembiayaan Koperasi Merah Putih.
Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan pembangunan 80.000 koperasi dengan estimasi pembiayaan maksimal Rp 3 miliar per koperasi, atau total mencapai Rp 240 triliun.
Permendes 10/2025 dan Skema Jaminan Dihapus
Menteri Desa dan PDT, Yandri Susanto, menambahkan bahwa pencabutan aturan sebelumnya dilakukan demi mempercepat realisasi program. Dengan berlakunya Inpres 17/2025, ketentuan dana desa sebagai jaminan kredit kini dihapus.
“PMK 49 tidak berlaku, termasuk Permendes 10 yang mengatur 30 persen dana desa sebagai jaminan. Karena ini top-down, pemerintah langsung membangun aset desa. Desa tetap mendapat keuntungan minimal 20 persen,” ujarnya.
Pakar: Risiko Macet Meningkat, Mitigasi Risiko Menghilang
Sejumlah ekonom menilai pencabutan regulasi penjaminan kredit dapat meningkatkan risiko gagal bayar.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Rizal Taufikurahman, menyebut hilangnya skema jaminan kredit menghapus aspek mitigasi risiko.
“Dengan dicabutnya Permendes 10/2025 dan PMK 49/2025, eksposur kredit meningkat signifikan. Risiko moral hazard, salah kelola, hingga kenaikan NPL sangat mungkin terjadi,” katanya.
Menurutnya, koperasi kini otomatis menjadi pihak pertama yang menanggung risiko (first loss), sementara bank menjadi pihak kedua. Di sisi lain, pemerintah desa tidak lagi memiliki kewajiban karena tidak ada dasar hukum pemanfaatan dana desa sebagai penjamin.
Sementara itu, Kepala Riset LPPI Trioksa Siahaan menilai berkurangnya skema penjaminan akan meningkatkan risiko kredit dan menuntut tata kelola koperasi yang baik.
“Yang bertanggung jawab bila kredit macet adalah pihak-pihak yang menandatangani perjanjian kredit,” tegasnya.
Ia menekankan perlunya penjaminan atau asuransi kredit yang memadai agar koperasi tetap sehat.
Dari sisi akademisi, Associate Director LPEM FEB UI, Jahen Fachrul Rezki, menilai perubahan aturan yang cepat menunjukkan kurangnya ketegasan dalam perumusan kebijakan.
“Sebaiknya kebijakan dibuat bertahap dan dievaluasi secara berkala, agar terlihat aspek-aspek yang perlu diperbaiki,” ujarnya.(**)






