Jakarta – Sebuah kapal yang mengangkut puluhan pengungsi etnis Rohingya dilaporkan tenggelam di perairan antara Thailand dan Malaysia, Minggu (9/11/2025). Hingga Senin (10/11/2025), sedikitnya 11 orang ditemukan tewas, sementara puluhan lainnya masih dinyatakan hilang.
Peristiwa nahas itu terjadi di sekitar Pulau Tarutao, kawasan utara Malaysia yang berdekatan dengan Langkawi. Kepala Polisi Kedah, Adzli Abu Shah, mengatakan kapal tersebut diyakini terbalik tiga hari sebelum ditemukan.
“Sebuah kapal yang membawa sekitar 90 orang diyakini tenggelam,” ujar Adzli kepada media lokal.
Otoritas maritim Malaysia dan Thailand kini melakukan operasi pencarian gabungan di wilayah laut tersebut. Direktur Badan Maritim Malaysia untuk Kedah dan Perlis, Romli Mustafa, menyebut 13 orang berhasil diselamatkan, sebagian besar merupakan pengungsi Rohingya.
Namun, tragedi ini tampaknya bukan satu-satunya. Dua kapal lain yang dilaporkan berangkat bersamaan masih belum ditemukan, dan diduga mengangkut lebih dari 200 penumpang.
Penemuan korban juga tersebar di dua wilayah. Otoritas Thailand menemukan empat jenazah, termasuk dua anak berusia 10 dan 12 tahun, sedangkan tujuh jenazah lainnya ditemukan oleh tim Malaysia.
“Dua korban perempuan yang ditemukan membawa kartu pengungsi Rohingya,” ungkap pejabat maritim Thailand kepada Reuters.
Romli menuturkan, kapal tersebut berangkat dari pesisir Myanmar, dekat perbatasan Bangladesh, sekitar dua pekan lalu. Sebagian penumpang disebut sempat berpindah ke kapal lain sebelum kecelakaan. Dari 13 penyintas, 11 orang adalah warga Rohingya dan dua lainnya berasal dari Bangladesh.
Menurut data UNHCR, sejak awal tahun 2025, lebih dari 5.100 warga Rohingya menempuh pelayaran berisiko tinggi untuk melarikan diri dari kekerasan di Myanmar maupun kondisi memprihatinkan di kamp pengungsi Bangladesh. Sekitar 600 orang di antaranya dilaporkan tewas atau hilang di laut.
Sejak tindakan keras militer Myanmar pada tahun 2017, lebih dari 1,3 juta warga Rohingya hidup di pengungsian. Dalam keputusasaan mencari kehidupan yang lebih aman, banyak di antara mereka memilih menempuh perjalanan laut berbahaya menuju Malaysia dan Indonesia — meski harus mempertaruhkan nyawa di samudra yang ganas.(**)












