SABANG — Dari dapur kecil
di pelosok Pulau Weh, aroma cokelat pertama kali menguar dari wajan sederhana milik sekelompok pengrajin kakao. Berbekal niat dan alat seadanya, mereka mencoba mengolah biji kakao lokal menjadi camilan manis khas Sabang. Tak ada mesin canggih, tak ada modal besar—hanya semangat untuk menghadirkan produk asli daerah. Dari situlah kisah Cokbang bermula.
Kini, merek cokelat lokal yang dikelola oleh Koperasi Produsen Kakao Jaya Mandiri itu menjelma menjadi kebanggaan baru masyarakat Sabang. Dari yang semula industri rumahan, Cokbang kini dikenal sebagai produsen cokelat inovatif dengan 17 varian unggulan, mulai dari bubuk cokelat, teh cokelat, choco nibs, hingga cokelat batang dengan beragam rasa khas.
Kebangkitan Cokbang tidak lepas dari dukungan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, yang memberikan bantuan mesin produksi modern bagi pelaku UMKM di sektor kakao. Bantuan tersebut menjadi titik balik besar dalam perjalanan mereka.
“Dulu kami cuma bisa produksi lima jenis cokelat dengan alat seadanya. Setelah mendapat bantuan dari Bank Indonesia, produksi kami meningkat pesat—sekarang sudah ada 17 varian,” ujar Melan Deta Diansyah, Kepala Produksi Cokbang, Rabu (5/11/2025).
Dengan mesin baru, tim Cokbang mampu menghasilkan produk dengan kualitas konsisten, tampilan menarik, dan daya tahan lebih lama. Dampaknya pun terasa signifikan: kapasitas produksi meningkat, varian produk bertambah, dan pasar lokal Sabang mulai bergairah dengan kehadiran cokelat asli daerah.
Lebih dari sekadar bisnis, Cokbang juga menjadi wadah pemberdayaan bagi petani kakao lokal. Melalui program pembinaan berkelanjutan, para petani dilatih menghasilkan biji kakao berkualitas premium. Ciri khas kakao Sabang terletak pada kadar lemaknya yang rendah—hanya sekitar 1,6%, membuat cita rasa cokelatnya lebih lembut dan tidak mudah meleleh.
Salah satu inovasi yang paling menarik adalah teh cokelat yang dibuat dari kulit kakao. Bahan yang dulu dibuang kini justru memberi nilai ekonomi baru dan mendukung konsep produksi berkelanjutan.
Dalam setahun, Cokbang mampu menjual sekitar 1,7 ton produk cokelat dengan omzet mencapai Rp300–360 juta. Angka tersebut menunjukkan betapa produk lokal Sabang kini mulai bersaing dengan cokelat dari daerah lain di Indonesia.
Melan mengisahkan, perjalanan mereka dimulai dari pelatihan yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Sabang beberapa tahun silam. Dari sana, ia dan timnya belajar mengolah biji kakao dengan alat seadanya, hingga akhirnya bisa berdiri tegak seperti sekarang.
“Kami belajar dari bawah, dari alat penggiling kecil. Tapi kami yakin, kalau kakao Sabang diolah dengan serius, hasilnya bisa membanggakan,” kenangnya.
Dorongan untuk menghadirkan oleh-oleh khas baru selain bakpia dan dodol juga datang dari Pj Wali Kota Sabang saat itu, yang ingin menjadikan cokelat sebagai identitas baru daerah. Harapan itu kini mulai terwujud.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Hingga kini, Cokbang masih berproduksi di gedung milik pemerintah daerah dengan ruang terbatas. Di sisi pemasaran, produk masih dominan dijual di gerai lokal Sabang. Sebagian toko belum memiliki pendingin ruangan (AC), padahal cokelat mudah meleleh di suhu di atas 28°C.
Melan berharap dukungan dari berbagai pihak terus berlanjut agar produk lokal Sabang bisa menembus pasar nasional, bahkan internasional.
“Kami ingin Sabang dikenal sebagai penghasil kakao berkualitas dunia. Cokbang adalah bukti bahwa dari pulau kecil, bisa lahir karya besar,” tutupnya.
Kini, Cokbang bukan sekadar merek cokelat, tetapi simbol semangat bangkit dari keterbatasan. Dari dapur sederhana hingga pabrik modern, dari alat manual hingga mesin canggih—perjalanan Cokbang membuktikan bahwa dengan kerja keras, inovasi, dan dukungan tepat, produk lokal Aceh mampu mendunia.(**)








