Dr. Iswadi: Krisis Kepemimpinan Indonesia Berawal dari Hilangnya Budaya Malu

Berita17 Dilihat

Banda Aceh – Di tengah dinamika sosial-politik Indonesia yang semakin kompleks, muncul fenomena kemunduran nilai dasar kepemimpinan dan moral publik.

Dr. Iswadi, seorang intelektual sekaligus pemerhati sosial yang kerap menyoroti persoalan etika kepemimpinan, menyampaikan keprihatinan mendalam terkait apa yang ia sebut sebagai krisis kepemimpinan akibat hilangnya budaya malu.

Hal itu ia sampaikan kepada wartawan melalui pesan WhatsApp, Minggu, 7 September 2025.

Menurutnya, bangsa ini berada pada titik kritis, bukan semata karena tantangan ekonomi atau ketimpangan sosial, melainkan kerusakan sistem nilai yang seharusnya menjadi fondasi kepemimpinan.

“Yang kita hadapi hari ini bukan kekurangan orang pintar. Masalah kita adalah kelangkaan pemimpin yang punya rasa malu—malu jika gagal menepati janji, malu jika korupsi, malu jika menindas rakyatnya sendiri. Budaya malu yang semestinya jadi rem moral, kini seolah menguap begitu saja,” ujar Dr. Iswadi dengan tegas.

Budaya Malu sebagai Pilar Moral

Dalam pandangannya, budaya malu bukan sekadar norma sosial atau tata krama, melainkan pilar moral yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab.

Dalam masyarakat tradisional Indonesia, rasa malu punya posisi sentral. Seorang pemimpin desa merasa malu jika tak mampu melindungi warganya. Seorang guru merasa malu jika muridnya gagal karena kelalaian dalam mengajar.

Namun, budaya itu kini tergeser oleh budaya pencitraan, pembenaran, dan pengalihan tanggung jawab.

“Kita bisa lihat di media sosial dan televisi, pejabat yang tertangkap tangan korupsi masih bisa tersenyum di depan kamera. Tidak ada rasa malu, seolah-olah itu hanya bagian dari permainan politik. Padahal rasa malu adalah pertanda bahwa seseorang masih punya nurani,” katanya getir.

Kegagalan Pendidikan Karakter

Dr. Iswadi menilai hilangnya budaya malu mencerminkan kegagalan sistemik dalam pendidikan karakter dan keteladanan. Anak-anak muda tumbuh dalam lingkungan yang membiasakan penipuan sebagai kecerdikan, kebohongan sebagai strategi, dan manipulasi sebagai jalan menuju kekuasaan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan rantai kepemimpinan yang rapuh dan oportunistik.

“Krisis kepemimpinan bukan semata karena kurangnya kapasitas intelektual atau administratif. Masalah utamanya adalah hilangnya kompas moral. Jabatan publik seharusnya amanah, bukan hak istimewa. Tapi praktiknya, banyak yang menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri atau membangun dinasti politik,” jelasnya.

Integritas Lebih Penting dari Popularitas

Menurutnya, kepemimpinan sejati menuntut integritas, bukan sekadar popularitas. Integritas lahir dari kesadaran etis bahwa setiap keputusan harus berpihak pada kebenaran dan keadilan, bukan hanya kepentingan sesaat.

Ia juga menyoroti sistem demokrasi yang belum sepenuhnya menghasilkan pemimpin berkualitas, karena proses rekrutmen politik masih didominasi kapital dan kekuasaan. Akibatnya, figur yang muncul seringkali bukan yang terbaik dari sisi moralitas, melainkan yang paling mampu membeli panggung.

Menghidupkan Kembali Budaya Malu

Sebagai solusi, Dr. Iswadi menekankan pentingnya menghidupkan kembali budaya malu, baik di ruang publik maupun privat.

“Kita harus mendidik generasi muda untuk malu jika berbohong, malu jika malas bekerja, malu jika menindas orang lemah. Budaya malu ini bukan inferioritas, tapi ekspresi tertinggi dari tanggung jawab moral,” ujarnya.

Ia mengajak keluarga, lembaga pendidikan, media, hingga institusi keagamaan untuk menjadikan budaya malu sebagai bagian integral dalam pembentukan karakter bangsa.

Dr. Iswadi menutup pesannya dengan harapan: suatu hari bangsa ini akan dipimpin oleh orang-orang yang bukan hanya cerdas dan berani, tapi juga punya rasa malu yang tinggi.

“Dari rasa malu tumbuh kesadaran untuk berbuat benar, bersikap adil, dan mencintai rakyat dengan tulus. Jika kita ingin menyelamatkan masa depan negeri ini, kita harus mulai menanamkan kembali budaya malu dalam hati setiap anak bangsa. Dari situlah krisis kepemimpinan akan menemukan jawabannya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *