Warga Desa Mesjid Pirak Protes Pembangunan Tower, Diduga Langgar Aturan dan Libatkan Suap

News21 Dilihat

Dailymailindonesia.com | ACEH UTARA – Rencana pembangunan menara telekomunikasi di Desa Mesjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara, menuai protes keras dari warga. Mereka menuding proyek tersebut melanggar prosedur resmi, memindahkan lokasi tanpa persetujuan, serta melibatkan dugaan suap untuk mendapatkan tanda tangan warga.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, tower kini berdiri di belakang rumah Keuchik Salahuddin, hanya beberapa meter dari permukiman warga dan rumah orang tuanya. Padahal, dalam rapat sosialisasi awal, lokasi disepakati di titik lain.

“Kami pernah diundang sosialisasi di lokasi sebelumnya dan disepakati di tempat lain. Tapi tiba-tiba saat dibangun, lokasinya dipindahkan ke belakang rumah orang tua geuchik tanpa pemberitahuan. Kami merasa dibohongi,” ungkap salah seorang warga, Sabtu (9/8/2025).

Warga khawatir jarak tower yang terlalu dekat dengan rumah penduduk berpotensi mengganggu kesehatan dan keselamatan.

Dugaan Suap dan Pemalsuan Dokumen.
Sejumlah warga mengaku diminta menandatangani dokumen persetujuan dengan imbalan uang Rp200.000. Uang tersebut disebut dibagikan oleh Maulida Yani, adik kandung Keuchik Salahuddin.

Bahkan, muncul dugaan pemalsuan administrasi berupa tanda tangan warga yang dilakukan sepihak oleh geuchik.

“Kalau mau tanda tangan, dapat uang. Kalau tidak mau, ya tidak dikasih. Tapi tower tetap dibangun meski ada yang tidak setuju,” tutur seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Informasi yang dihimpun menyebut masa sewa lahan tower mencapai 10 tahun. Namun warga mempertanyakan keabsahan kontrak sewa yang dinilai tidak transparan.

Aturan Resmi Pembangunan Menara Telekomunikasi. Sesuai peraturan di Indonesia, pembangunan menara telekomunikasi wajib memenuhi tahapan berikut:

1. Surat Pernyataan Tidak Keberatan (SPTK) dari warga dalam radius minimal 1× tinggi menara, diketahui kepala desa dan camat.

2. Sosialisasi resmi hingga radius 125% tinggi menara, melibatkan perangkat desa dan kecamatan, dibuktikan dengan berita acara dan daftar hadir.

3. Perizinan teknis seperti Izin Prinsip, Izin Lokasi, IMB Menara, Izin Lingkungan (UKL-UPL/AMDAL), Sertifikat Layak Fungsi (SLF), dan Izin Operasional dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Jika tahapan ini diabaikan, pemerintah daerah berhak menyatakan pembangunan ilegal dan melakukan pembongkaran.

Hingga berita ini diturunkan, Keuchik Salahuddin maupun pihak perusahaan penyedia tower belum memberikan keterangan resmi terkait persoalan ini.

Warga berharap Camat Matang Kuli, Dinas Perizinan, dan Dinas Kominfo Aceh Utara segera turun ke lokasi, memeriksa dokumen perizinan, serta memediasi konflik tersebut.

“Kami hanya ingin aturan ditegakkan. Kalau izinnya lengkap, silakan dibangun. Tapi kalau tidak, harus dihentikan. Sebaiknya dibangun di tanah lapang milik adat atau milik pribadi yang jauh dari rumah warga,” tegas seorang tokoh masyarakat setempat.

Jika terbukti melanggar, kasus ini dapat dilaporkan ke pihak berwenang dan diproses sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan perizinan bangunan yang berlaku.
(Muhazir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *