Konsep Rancangan Syariat Islam Aceh Menuju 2045

Islam22 Dilihat

 

BANDA ACEH – Dinas Syariat Islam Aceh bersama dengan pemangku kepentingan, pakar hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dan Universitas Syiah Kuala (USK) telah berhasil merancang konsep rancangan induk peta jalan atau grand desain pelaksanaan syariat Islam Aceh untuk jangka panjang hingga tahun 2045. Rancangan Qanun Grand Desain Syariat Islam (Raqan GDSI) adalah rancangan induk yang berisi peta jalan pelaksanaan syariat Islam, yang menjadi pedoman dan acuan bagi pemerintah dan masyarakat.

Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Zahrol Fajri, S.Ag, MH mengatakan, GDSI ini diperlukan, mengingat syariat Islam sebagai tuntunan agama yang bersifat menyeluruh, mencakup semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, pelaksanaannya merupakan kegiatan terpadu yang melibatkan semua pihak, baik itu dinas/badan/instansi maupun masyarakat luas pada umumnya.

Penerapan syariat Islam bukanlah merupakan kegiatan sektoral yang hanya diurus oleh dinas atau instansi tertentu saja. Koordinasi, konsultasi, dan sinkronisasi antar instansi untuk menyamakan persepsi dan langkah, bahkan jika perlu untuk menentukan koordinator (pemimpin puncak) untuk suatu program tertentu merupakan sesuatu yang mutlak.

Lebih lanjut Zahrol Fajri mengungkapkan, kebijakan pelaksanaan syariat Islam tidak hanya bertumpu pada Dinas Syariat Islam (DSI), tetapi pada bidang-bidang tertentu harus dikerjakan dinas atau badan lain agar perjalanannya dapat berjalan dengan baik.

“Rancangan Qanun GDSI ini diharapkan sebagai pedoman pembangunan Aceh berbasis syariah di seluruh lini kehidupan masyarakat Aceh dan akan dijalankan semua instansi/lembaga/badan sesuai dengan tupoksinya masing-masing,” ujarnya.

Draft grand desain ini telah dibahas sejak tahun 2017 dan terus disempurnakan. Dari 12 rancangan qanun, hanya 7 yang berhasil masuk untuk dibahas pada tahun mendatang. “Kami berharap, dengan qanun ini, Aceh dapat menjadi model Pemerintahan Aceh yang memimpin menuju masyarakat madani dan kaffah di wilayah ujung barat Indonesia,” kata Zahroel.

Pada tahap pelaksanaan, grand desain ini akan memberikan pedoman yang jelas tentang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap instansi terkait. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penerapan Syariat Islam di Aceh menuju tahun 2045.

“Dalam GDSI ini nantinya tidak menyusun kebijakan, program dan kegiatan setiap instansi pemerintah, tetapi menyusun prinsip dan nilai syariat Islam, indikator dan alat ukur kinerja serta target,” ucap Zahrol.

Ketika dinas/instansi pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota merencanakan dan melakukan pembangunan berbasis syariah, maka acuan atau pedomannya adalah prinsip atau nilai syariah yang ada dalam GDSI.

Sementara itu, dalam Rancangan Qanun Aceh tentang Grand Design Syariat Islam Tahun 2025-2045 disampaikan bahwa dalam perjalanan sejarah mulai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19, Aceh mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan dan ekonomi.

Kadis DSI juga menjelaskan, pelaksanaan GDSI akan dikerjakan selama 20 tahun dari tahun 2025 sampai 2045, menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA).

Pembangunan Aceh berbasis syariah terhadap semua bidang akan dilakukan selama 4 (empat) tahap, tahap 1 dari tahun 2025 sd tahun 2030, tahap II dari tahun 2030 sd tahun 2035, tahap III dari tahun 2035 sd tahun 2040, dan tahun 2040 sd 2045.

Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh, tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa ulama. Penghayatan terhadap ujaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Persoalan hukum adalah bagian kecil dari sejumlah bidang pembangunan yang dilakukan di Aceh. Itu pun, dalam hukum Islam harus dilakukan pemilahan, mana hukum yang perlu diatur dan tidak diatur oleh negara.

Hukum Islam yang akan dijadikan peraturan atau peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bentuk qanun merupakan kebijakan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang syariat Islam yang sepenuhnya diselenggarakan Pemerintahan Aceh, bukan urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Dengan demikian, tidak diperbolehkan Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun peraturan yang berkaitan dengan pemidanaan baru tentang pelaksanaan syariat Islam yang belum diatur oleh Pemerintahan Aceh, apalagi menyusun peraturan syariat Islam yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan Pemerintahan Aceh dalam Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh serta kebijakan lainnya. (Eriza M.Dahlan)

Sumber: Gema Baiturrahman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *