RS Al Shifa di Gaza. (Foto: Ahmed El Mokhallalati/via REUTERS)
Dailymailindonesia.com, Jakarta – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan kondisi RS Al Shifa di Gaza yang dikosongkan atas perintah Israel. Mereka menggambarkan kondisi rumah sakit tersebut bak zona kematian.
“Karena batas waktu yang terkait dengan situasi keamanan, tim hanya bisa menghabiskan satu jam di dalam rumah sakit, yang mereka gambarkan seperti ‘zona kematian’ dan situasinya sarat akan keputusasaan,” demikian keterangan WHO dikutip Al Jazeera, Minggu (19/11/2023).
Tim penilai kemanusiaan yang dipimpin WHO pada hari Minggu memberikan rincian terkini mengenai kondisi setelah kunjungan ke fasilitas tersebut. Diterangkan pasien termasuk 32 bayi dalam kondisi sangat kritis, dua orang dalam perawatan intensif tanpa ventilasi, dan 22 pasien dialisis yang aksesnya terhadap pengobatan yang menyelamatkan nyawa sangat terancam.
Sebagian besar pasien adalah korban trauma perang, termasuk banyak pasien yang mengalami patah tulang dan amputasi kompleks, cedera kepala, luka bakar, trauma dada dan perut, dan 29 pasien dengan cedera tulang belakang serius yang tidak dapat bergerak tanpa bantuan medis. Banyak pasien trauma mengalami luka infeksi parah karena kurangnya tindakan pengendalian infeksi di rumah sakit dan tidak tersedianya antibiotik,” terang WHO.
Tim WHO mengatakan beberapa kematian pasien telah terjadi selama dua hingga tiga hari sebelumnya akibat penutupan layanan medis.
Badan kesehatan tersebut mengatakan upaya sedang dilakukan untuk segera mengangkut pasien yang tersisa ke Kompleks Medis Nasser dan Rumah Sakit Gaza Eropa di selatan Gaza tetapi “rumah sakit ini sudah bekerja melebihi kapasitasnya, dan rujukan baru dari Rumah Sakit Al-Shifa akan semakin membebani mereka.
Sebagian besar staf, pasien, dan pengungsi di Al-Shifa meninggalkan fasilitas tersebut pada hari Sabtu, dan staf rumah sakit melaporkan bahwa mereka diperintahkan untuk dievakuasi oleh militer Israel.
Direktur Rumah Sakit Al-Shifa, Muhammad Abu Salmiya, sebelumnya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa banyak orang pergi dengan berjalan kaki tetapi “pasien yang tidak dapat bergerak, diamputasi, dan mereka yang dalam kondisi kritis” terpaksa tetap tinggal bersama segelintir staf medis.