ACEH UTARA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muda Seudang menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan aparat TNI yang dinilai melakukan kekerasan terhadap warga sipil serta intimidasi terhadap jurnalis saat aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati dan Kandang, Kabupaten Aceh Utara. Insiden tersebut dianggap mencederai prinsip negara hukum, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), serta menunjukkan lemahnya pemahaman komando teritorial terhadap kekhususan Aceh.
Ketua DPP Muda Seudang, Agam Nur Muhajir, SIP, menegaskan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat bersenjata terhadap warga sipil dan pekerja pers tidak dapat ditoleransi dalam kondisi apa pun. Menurutnya, aparat negara semestinya hadir sebagai pelindung rakyat, bukan justru menjadi sumber ketakutan di tengah masyarakat.
“Tindakan pemukulan terhadap warga dan intimidasi terhadap wartawan adalah bentuk penyimpangan serius dari tugas dan fungsi aparat. Lebih parah lagi, adanya upaya perebutan paksa bendera bulan bintang menunjukkan sikap arogansi kekuasaan yang mengabaikan hukum Aceh dan mencederai semangat perdamaian,” tegas Agam dalam keterangannya, Kamis (25/12/2025).
Ia menilai tindakan aparat yang mengacungkan senjata di tengah aksi massa bukan hanya berlebihan, tetapi juga berbahaya dan berpotensi memicu trauma kolektif masyarakat Aceh yang memiliki sejarah panjang konflik bersenjata.
Dinilai Abaikan Qanun Aceh dan MoU Helsinki
Muda Seudang secara tegas menyatakan bahwa insiden tersebut mencerminkan kegagalan Danrem Lilawangsa dalam memahami serta menghormati keistimewaan dan kekhususan Aceh yang dijamin secara hukum nasional dan internasional.
Aceh, kata Agam, memiliki dasar hukum yang jelas terkait simbol daerah. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh secara eksplisit mengatur keberadaan dan penggunaan bendera Aceh sebagai identitas dan simbol daerah. Selain itu, Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005 juga mengakui hak Aceh atas simbol-simbol daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari proses perdamaian dan otonomi khusus.
“Pendekatan keamanan yang mengabaikan Qanun Aceh dan MoU Helsinki sama saja dengan membuka kembali luka lama. Ini bukan persoalan teknis atau prosedural semata, tetapi menyangkut penghormatan terhadap perjanjian damai dan kepercayaan rakyat Aceh kepada negara,” ujarnya.
Desak Copot Danrem dan Lakukan Investigasi Independen
Atas dasar tersebut, DPP Muda Seudang mendesak Panglima TNI untuk segera mencopot Danrem Lilawangsa dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban komando serta komitmen nyata terhadap penegakan hukum dan perlindungan HAM.
Selain itu, Muda Seudang juga meminta agar dilakukan investigasi independen, transparan, dan akuntabel terhadap dugaan kekerasan yang dilakukan aparat, baik terhadap warga sipil maupun insan pers. Mereka menuntut agar setiap oknum yang terbukti melakukan pelanggaran diproses secara hukum tanpa pandang bulu.
“Kami tidak ingin ada impunitas. Penegakan hukum harus dilakukan secara terbuka agar publik tidak kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara,” kata Agam.
Dorong Pendidikan HAM dan Pendekatan Dialogis
Muda Seudang juga menyerukan agar TNI memperkuat pendidikan HAM dan pemahaman tentang kekhususan Aceh di seluruh jajaran, terutama bagi personel yang bertugas di wilayah Aceh. Menurut mereka, pendekatan represif hanya akan memperbesar jarak antara aparat dan masyarakat.
“Perdamaian Aceh adalah hasil perjuangan panjang dan pengorbanan besar. Ia harus dijaga dengan dialog, hukum, dan penghormatan terhadap martabat warga. Represifitas bukan solusi, melainkan ancaman bagi masa depan perdamaian itu sendiri,” pungkas Agam, yang juga merupakan alumni FISIP UIN Ar-Raniry.(**)






