Bencana, Bantuan, dan Negara yang Terlihat Bingung

Opini5 Dilihat

Oleh Rustami, ST

ACEH – Bencana datang tanpa bertanya.
Banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera menyapu rumah, kebun, jalan, serta ketenangan batin warga. Air datang cepat. Tanah runtuh tiba tiba. Dalam hitungan jam, hidup berubah. Yang tersisa hanyalah harapan paling sederhana. Negara segera hadir.

Namun justru di situlah keanehan mulai terasa.

Bantuan datang dari banyak arah. Negara sahabat menghubungi. Organisasi internasional menawarkan uluran tangan. Tim kemanusiaan siap bergerak. Tetapi dari pusat terdengar kalimat yang tegas dan dingin. Tidak perlu. Kita mampu menangani sendiri. Bahkan ada bantuan yang dikembalikan. Alasannya aturan.

Bagi pejabat, ini mungkin soal kedaulatan.
Bagi korban, ini soal makan hari ini dan tidur malam ini.

Padahal ini situasi darurat. Dalam keadaan darurat, yang utama bukan menunjukkan kemampuan negara, melainkan menyelamatkan warga. Negara tidak sedang lomba percaya diri. Negara sedang diuji kecepatan dan empatinya.

Keanehan berikutnya muncul pelan tapi terasa. Status bencana nasional tak kunjung ditetapkan. Alasannya administratif. Daerah masih sanggup, kata pemerintah pusat. Kalimat itu terdengar rapi di meja rapat. Tetapi terasa jauh dari lumpur di lapangan.

Padahal semua orang tahu, status nasional bukan soal gengsi. Ia soal pintu. Pintu anggaran. Pintu koordinasi. Pintu bantuan yang lebih luas dan lebih cepat. Mengapa pintu itu tidak dibuka, sementara air sudah masuk ke rumah rakyat. Jadi curiga kami, jangan-jangan takut ya, diketahui masyarakat dunia kenapa hutan tropis Indonesia gundur begitu saja.

Di lapangan, masalah lain menumpuk. Bantuan ada, tetapi lambat sampai. Logistik tertahan. Jalan putus. Jembatan roboh. Desa desa terisolasi berhari hari, bahkan berminggu minggu. Ini memang soal infrastruktur. Tetapi justru karena itulah negara seharusnya siap. Bencana hampir selalu merusak jalan. Itu bukan kejutan. Itu pola.

Kelambanan ini bukan hanya soal teknis. Ia melahirkan luka lain yang lebih dalam. Rasa ditinggalkan.

Tekanan publik pun datang. Lebih dari seratus organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah menetapkan status bencana nasional. Tokoh tokoh Aceh ikut bersuara. Ini bukan oposisi politik. Ini jeritan kewarasan. Mereka bicara dari lapangan, bukan dari layar presentasi.

Ironisnya, narasi justru terbelah. Pemerintah pusat berkata cukup, kami mampu. Pemerintah daerah berkata kami siap menerima bantuan. Korban bencana menyimak semuanya dengan hati yang sedang rapuh. Perbedaan sikap ini menambah kebingungan. Siapa sebenarnya yang memegang kendali.

Masalah belum berhenti di situ.

Di sektor kesehatan, kritik kembali muncul. Rencana mengirim dokter magang dipertanyakan oleh kalangan medis sendiri. Bukan karena meremehkan. Tetapi karena bencana membutuhkan tenaga yang benar benar siap. Ini bukan soal niat baik. Ini soal ketepatan. Korban tidak butuh eksperimen. Mereka butuh kepastian.

Sementara itu, di media sosial, suara rakyat makin keras. Ada yang menilai pejabat terlalu rajin bicara di media. Terlalu banyak konferensi pers. Terlalu sedikit sepatu berlumpur. Adil atau tidak, persepsi itu tumbuh karena jarak antara kata dan tindakan terasa nyata.

Namun ada satu keanehan yang paling menyentuh dapur rakyat.

Korban banjir dilarang mengambil gelondongan kayu yang hanyut. Kayu yang tersangkut di sungai. Kayu yang berserakan di bekas rumah mereka sendiri. Alasannya resmi dan singkat. Itu milik negara.

Di titik ini, pertanyaan menjadi sangat mendasar. Negara yang mana.

Apakah negara sebagai wadah bersama akan runtuh jika seorang korban banjir memikul sebatang kayu untuk membangun kembali dinding rumahnya. Ataukah yang terganggu sebenarnya adalah cara berpikir kekuasaan yang keliru. Cara berpikir yang menyamakan negara dengan pemerintah.

Di sinilah pentingnya meluruskan makna. Negara bukan pejabat. Negara bukan kantor. Negara adalah wadah permanen milik bersama. Pemerintah hanyalah pengelola sementara. Manajer, bukan pemilik. Rakyat adalah pemilik kedaulatan.

Jika logika ini lurus, maka larangan mengambil kayu di tengah bencana terasa janggal. Sah secara aturan, mungkin. Tetapi timpang secara nurani. Negara seharusnya hadir meringankan beban, bukan menambahnya.

Tetapi persoalan bencana ini sebenarnya tidak berhenti pada air dan lumpur.

Jika dikaji lebih jauh, bencana ini bukan sepenuhnya tamu tak diundang. Ia juga hasil dari undangan panjang yang kita kirim sendiri. Izin penebangan hutan terus dikeluarkan. Kawasan lindung menyempit. Lereng dibuka. Hutan diganti angka produksi. Pelanggaran ekologis dianggap risiko yang bisa dinegosiasikan.

Saat hujan turun biasa, alam masih menahan.
Saat hujan turun ekstrem, alam menyerah.

Banjir dan longsor datang bukan sebagai kejutan, melainkan sebagai konsekuensi. Air hanya mengikuti jalannya. Tanah hanya bergerak sesuai hukumnya. Alam tidak bernegosiasi. Ia hanya mencatat.

Maka ketika gelondongan kayu hanyut, pertanyaan lain muncul. Kayu itu datang dari mana. Apakah semuanya murni kayu liar. Ataukah sebagian berasal dari hutan yang izinnya pernah diteken dengan tenang di ruang rapat.

Di titik ini, larangan mengambil kayu menjadi terasa ironis. Hutan ditebang dengan izin. Kayu hanyut disebut milik negara. Korban bencana dilarang menyentuhnya.

Negara terlihat tegas kepada yang lemah, tetapi longgar kepada yang kuat.

Dan seolah semua itu belum cukup, datanglah musibah baru yang lebih sunyi. Bernama “Lambatnya Penanganan.”

Pelayanan yang seharusnya berlari, memilih berjalan. Yang mestinya mendahului tangis korban, sibuk menunggu prosedur. Negara, atau lebih tepatnya pemerintah yang sedang mengelola negara, terlihat terlambat masuk ke rumah pemiliknya sendiri.

Ironisnya, rakyat terus diminta sabar. Seolah kesabaran adalah sumber daya tak terbatas. Seolah bencana hanya menguji fisik, bukan batin. Padahal yang paling cepat habis justru harapan.

Padahal satu hal mestinya sederhana.

Saat rakyat tertimpa bencana, negara tidak perlu terlihat kuat. Negara cukup hadir. Cepat. Jujur. Rendah hati.
Dan perlu diingat, orang tertimpa musibah jiwanya rapuh, mudah tersinggung. Maka jangan sikap dan ucapan.

Karena bagi korban banjir, yang paling menyakitkan bukan air yang datang tiba tiba, melainkan bantuan yang datang terlalu lama. Dan larangan yang datang terlalu cepat dan pejabat berkata kasar. [Surat@dekruhsarena.com]

Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik tinggal di Kopelma Darussalam Banda Aceh & Relawan Mandiri Bencana Aceh- Sumatera.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *