Banda Aceh — Di tengah geliat pembangunan dan investasi yang terus digencarkan Pemerintah Aceh, suara para pekerja justru kian lirih terdengar. Serikat tenaga kerja di Aceh menilai bahwa hingga kini kebijakan ketenagakerjaan belum sepenuhnya berpihak pada buruh lokal. Minimnya perlindungan, lemahnya pengawasan, serta tingginya angka pengangguran menjadi alasan utama serikat pekerja mendesak Pemerintah Aceh untuk memberikan dukungan penuh dan nyata terhadap sektor ketenagakerjaan.
Investigasi ini menelusuri tuntutan serikat tenaga kerja, realitas di lapangan, serta peran pemerintah daerah dalam menjamin hak-hak pekerja Aceh di tengah tantangan ekonomi, investasi, dan globalisasi.
Realitas Buruh Aceh: Antara Janji dan Kenyataan
Aceh dikenal sebagai daerah dengan kekhususan dan keistimewaan. Namun dalam praktik ketenagakerjaan, kekhususan itu dinilai belum sepenuhnya dirasakan oleh para buruh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Aceh masih berada di atas rata-rata nasional, terutama di kalangan usia produktif.
Banyak pekerja di sektor perkebunan, konstruksi, pertambangan, hingga jasa mengaku bekerja tanpa kontrak yang jelas. Upah di bawah standar, jam kerja berlebihan, serta minimnya jaminan sosial menjadi cerita umum yang ditemui di berbagai kabupaten/kota.
“Di atas kertas kita punya aturan, tapi di lapangan buruh masih rentan dieksploitasi,” ujar seorang aktivis serikat buruh Aceh yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Serikat Tenaga Kerja Aceh Angkat Suara.
Serikat tenaga kerja Aceh menilai Pemerintah Aceh belum maksimal menjalankan peran sebagai pelindung tenaga kerja lokal. Dalam berbagai forum dan pernyataan resmi, mereka menuntut agar pemerintah:
Memperkuat regulasi ketenagakerjaan daerah
Meningkatkan pengawasan perusahaan
Menjamin upah layak dan jaminan sosial
Memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam investasi.
Menyediakan pelatihan kerja berbasis kebutuhan pasar
Menurut serikat pekerja, masuknya investor ke Aceh seharusnya menjadi peluang emas bagi tenaga kerja lokal. Namun kenyataannya, banyak perusahaan justru membawa pekerja dari luar daerah dengan alasan keterampilan.
“Kami tidak anti-investasi, tapi investasi harus berpihak pada rakyat Aceh, bukan hanya pada modal,” tegas salah satu pimpinan serikat tenaga kerja Aceh dalam konferensi pers di Banda Aceh.
Pengawasan Lemah, Pelanggaran Berulang.
Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan. Dinas terkait dinilai kekurangan tenaga pengawas, anggaran terbatas, serta belum optimal dalam menindak pelanggaran.
Di sejumlah perusahaan, ditemukan praktik:
Tidak membayar upah sesuai UMK
Tidak mendaftarkan pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan.
Pemutusan hubungan kerja sepihak
Kontrak kerja berkepanjangan tanpa status tetap
Para buruh sering kali enggan melapor karena takut kehilangan pekerjaan. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: pelanggaran terjadi, tetapi tidak pernah ditindak tegas.
Upah Minimum: Layak di Atas Kertas
Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh setiap tahun mengalami kenaikan. Namun serikat buruh menilai kenaikan tersebut belum mencerminkan kebutuhan hidup layak.
Harga bahan pokok, sewa rumah, dan biaya pendidikan terus meningkat. Sementara itu, banyak buruh justru menerima upah di bawah standar dengan dalih efisiensi perusahaan.
“UMP seharusnya menjadi jaring pengaman, bukan angka formalitas,” ujar seorang buruh pabrik di Aceh Utara.
Tenaga Kerja Lokal Terpinggirkan
Masalah lain yang menjadi sorotan adalah rendahnya serapan tenaga kerja lokal. Proyek-proyek besar di sektor energi, infrastruktur, dan industri sering kali didominasi pekerja dari luar Aceh.
Serikat tenaga kerja menilai Pemerintah Aceh perlu menerbitkan kebijakan afirmatif yang mewajibkan perusahaan memprioritaskan tenaga kerja lokal, disertai program pelatihan yang relevan.
“Kalau alasan perusahaan adalah keterampilan, maka tugas pemerintah memastikan rakyatnya terampil,” kata seorang pengamat ketenagakerjaan dari salah satu universitas di Aceh.
Pendidikan dan Pelatihan Kerja Masih Tertinggal.
Balai latihan kerja (BLK) di Aceh dinilai belum optimal. Banyak fasilitas yang usang, kurikulum tidak sesuai kebutuhan industri, dan minim kerja sama dengan dunia usaha.
Akibatnya, lulusan pelatihan sering kali tidak terserap pasar kerja. Serikat tenaga kerja mendesak Pemerintah Aceh merevitalisasi sistem pelatihan vokasi agar benar-benar menjawab kebutuhan lapangan.
Kekhususan Aceh dan Tanggung Jawab Pemerintah
Sebagai daerah dengan otonomi khusus, Aceh memiliki ruang besar untuk merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang berpihak pada rakyatnya. Dana Otonomi Khusus seharusnya dapat dimanfaatkan untuk:
Program penciptaan lapangan kerja
Perlindungan buruh rentan
Peningkatan kualitas SDM
Penguatan serikat pekerja
Namun hingga kini, buruh menilai komitmen tersebut belum terlihat nyata.
Harapan dan Tuntutan ke Depan
Serikat tenaga kerja Aceh menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Pemerintah Aceh, di antaranya:
Membentuk satgas pengawasan ketenagakerjaan independen
Melibatkan serikat pekerja dalam perumusan kebijakan
Memberikan sanksi tegas kepada perusahaan pelanggar
Menjadikan kesejahteraan buruh sebagai indikator keberhasilan pembangunan
Mereka menegaskan bahwa pembangunan tanpa keadilan bagi buruh hanya akan memperlebar kesenjangan sosial.
Buruh Menunggu Keberpihakan Nyata
Investigasi ini menunjukkan bahwa persoalan ketenagakerjaan di Aceh bukan sekadar soal regulasi, melainkan soal keberpihakan. Serikat tenaga kerja Aceh tidak menuntut hal berlebihan—mereka hanya meminta hak dasar: pekerjaan layak, upah manusiawi, dan perlindungan hukum.
Kini, bola berada di tangan Pemerintah Aceh. Apakah suara buruh akan dijadikan pijakan kebijakan, atau kembali tenggelam di tengah hiruk-pikuk investasi dan pembangunan?
Waktu yang akan menjawab, namun para buruh Aceh menegaskan satu hal: mereka tidak akan berhenti bersuara.
Kepemimpinan STKA: Suara Buruh dari Akar Sejarah Aceh
Di balik konsistensi tuntutan yang disuarakan Serikat Tenaga Kerja Aceh (STKA), terdapat figur-figur yang memiliki latar belakang kuat dalam perjuangan sosial dan sejarah Aceh. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) STKA saat ini dipimpin oleh Wahyu S., S.H., yang lebih dikenal dengan nama Wak Jon Deli, sebagai Ketua Umum. Ia didampingi oleh Annisha Gansila sebagai Sekretaris Umum DPP STKA.
Wahyu S., S.H. bukanlah sosok asing bagi masyarakat Aceh, khususnya di wilayah Aceh Timur dan sekitarnya. Ia dikenal sebagai eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Deli, yang pasca konflik memilih jalur perjuangan sipil melalui advokasi ketenagakerjaan dan perlindungan hak-hak buruh.
Dalam berbagai kesempatan, Wahyu menegaskan bahwa perjuangan STKA tidak terlepas dari semangat perdamaian dan keadilan sosial yang menjadi cita-cita pasca MoU Helsinki.
“Perjuangan kami hari ini bukan lagi dengan senjata, tetapi dengan hukum, data, dan keberpihakan kepada rakyat pekerja Aceh,” ujar Wahyu dalam sebuah forum diskusi ketenagakerjaan di Banda Aceh.
Dari Konflik ke Advokasi Buruh
Latar belakang Wahyu sebagai eks kombatan GAM memberi warna tersendiri dalam gerakan STKA. Ia menilai bahwa perdamaian sejati hanya dapat terwujud jika masyarakat, khususnya buruh dan pekerja, merasakan keadilan ekonomi.
Menurutnya, masih banyak mantan kombatan, korban konflik, dan generasi muda Aceh yang terjebak dalam lingkaran pengangguran dan pekerjaan informal tanpa perlindungan.
“Kalau hari ini buruh Aceh masih hidup dalam ketidakpastian, maka itu artinya perdamaian belum sepenuhnya selesai,” tegas Wahyu.
Ia juga mengingatkan bahwa Dana Otonomi Khusus Aceh semestinya menjadi instrumen utama untuk menciptakan lapangan kerja dan memperkuat perlindungan tenaga kerja lokal.
Peran Strategis Sekretaris Umum
Sementara itu, Annisha Gansila sebagai Sekretaris Umum DPP STKA memegang peran penting dalam konsolidasi organisasi dan penguatan basis data ketenagakerjaan. Di bawah koordinasinya, STKA mulai membangun sistem pendataan buruh, kasus pelanggaran ketenagakerjaan, serta jejaring serikat di tingkat kabupaten/kota.
Annisha menilai bahwa selama ini suara buruh sering diabaikan karena tidak terdokumentasi secara sistematis.
“Banyak pelanggaran terjadi, tapi tidak tercatat. Ketika kami bicara, pemerintah minta data. Sekarang kami siapkan data itu,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dalam gerakan buruh Aceh, mengingat semakin banyak perempuan yang bekerja di sektor informal, perkebunan, dan industri jasa tanpa perlindungan memadai.
Kritik Terhadap Pemerintah Aceh
Di bawah kepemimpinan Wahyu dan Annisha, STKA secara terbuka menyampaikan kritik terhadap Pemerintah Aceh, khususnya terkait lemahnya implementasi kebijakan ketenagakerjaan.
STKA menilai pemerintah terlalu fokus pada pencitraan investasi, namun abai terhadap kesiapan dan perlindungan tenaga kerja lokal.
“Investor datang disambut karpet merah, tapi buruh Aceh dibiarkan berdiri di pinggir,” kata Wahyu.
Ia menegaskan bahwa STKA tidak menolak investasi, namun meminta Pemerintah Aceh bersikap tegas dan berpihak.
Konsolidasi dan Gerakan Lapangan
Dalam setahun terakhir, DPP STKA aktif melakukan konsolidasi ke berbagai daerah, termasuk Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Konsolidasi ini bertujuan memperkuat struktur organisasi serta menyerap langsung aspirasi buruh di lapangan.
STKA juga mulai memberikan pendampingan hukum bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak, kecelakaan kerja, dan pelanggaran kontrak.
Sebagai seorang berlatar belakang hukum, Wahyu S., S.H. kerap turun langsung mendampingi buruh dalam proses mediasi hingga pelaporan ke instansi terkait.
Menjaga Perdamaian Lewat Keadilan Sosial
STKA menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah bagian dari menjaga perdamaian Aceh. Ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan eksploitasi buruh dinilai berpotensi memicu konflik sosial baru jika terus dibiarkan.
“Kami tidak ingin Aceh kembali ke masa lalu. Justru karena itu, keadilan sosial harus ditegakkan sekarang,” kata Annisha.
Penegasan Sikap STKA
Di akhir pernyataannya, DPP STKA di bawah kepemimpinan Wahyu S., S.H. (Wak Jon Deli) dan Annisha Gansila kembali menegaskan tuntutan kepada Pemerintah Aceh agar:
Menjadikan ketenagakerjaan sebagai prioritas utama pembangunan
Melibatkan serikat buruh dalam setiap kebijakan strategis
Memastikan tenaga kerja lokal menjadi tuan di negeri sendiri
Menghentikan pembiaran terhadap pelanggaran ketenagakerjaan
STKA menyatakan siap menjadi mitra kritis pemerintah, sekaligus tidak segan turun ke jalan apabila aspirasi buruh terus diabaikan.(**)






