Ultimatum Diabaikan, Hutan Digarap: Jejak Kerusakan yang Mengantar Banjir Besar Aceh

Opini20 Dilihat
  • Ultimatum sudah disuarakan.

Banda Aceh – Alat berat diminta keluar dari kawasan hutan Aceh. Namun peringatan itu seolah menguap di tengah kepentingan dan pembiaran.

Akhir November 2025, Aceh kembali dilanda bencana besar. Hujan deras yang turun berhari-hari membuat sungai-sungai meluap, merendam permukiman, memutus akses jalan, dan memaksa ribuan warga mengungsi. Status darurat bencana pun ditetapkan di sejumlah daerah.

Bagi sebagian warga, peristiwa ini bukan sekadar banjir musiman. Mereka menyebutnya sebagai “tsunami kedua dari daratan” — sebuah bencana yang datang perlahan, tetapi menghancurkan dengan cara yang tak kalah mematikan.

Pertanyaannya kemudian mengemuka: apakah ini murni bencana alam, atau akumulasi dari kerusakan lingkungan yang dibiarkan terlalu lama?

Ultimatum yang Tak Digubris

Jauh sebelum banjir besar terjadi, peringatan telah dilontarkan. Sejumlah pihak, termasuk aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat, mendesak agar aktivitas alat berat dihentikan dari kawasan hutan Aceh. Ultimatum tersebut menuntut penghentian pembukaan hutan, penggalian, serta aktivitas yang berpotensi merusak daerah tangkapan air.

Namun di lapangan, suara peringatan itu tak sepenuhnya diindahkan. Alat berat dilaporkan masih beroperasi di sejumlah titik. Hutan yang selama ini berfungsi sebagai benteng alami penahan air perlahan kehilangan kemampuannya.

Ketika hujan ekstrem datang, alam seolah “menagih” semua yang telah diabaikan.

Hutan Menyusut, Daya Tahan Alam Runtuh

Aceh dikenal memiliki kawasan hutan yang luas dan kaya, termasuk bagian dari Ekosistem Leuser. Hutan-hutan ini berperan vital sebagai penyerap air hujan, pengendali aliran sungai, sekaligus pelindung alami dari banjir dan longsor.

Namun pembukaan lahan, perambahan hutan, serta aktivitas alat berat yang tidak terkendali menyebabkan daya dukung lingkungan menurun drastis. Tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sungai menjadi dangkal, dan aliran air hujan tak lagi tertahan.

Akibatnya, hujan dengan intensitas tinggi langsung berubah menjadi banjir bandang.

Banjir Besar dan Luka Sosial

Banjir yang terjadi akhir November 2025 meluas ke berbagai wilayah. Rumah-rumah warga terendam, sawah dan kebun rusak, akses transportasi terputus, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Di beberapa daerah, air datang begitu cepat hingga warga nyaris tak sempat menyelamatkan harta benda.

Trauma pun tertinggal. Anak-anak kehilangan rasa aman, orang tua dihantui kekhawatiran akan bencana susulan, sementara para petani dan nelayan menanggung kerugian besar.

Di tengah penderitaan itu, muncul kemarahan yang terpendam. Warga mempertanyakan, mengapa peringatan soal hutan tak ditindak tegas? Mengapa alat berat masih dibiarkan bekerja hingga akhirnya bencana terjadi?

Tsunami dari Daratan

Istilah “tsunami kedua” bukan sekadar metafora. Bagi masyarakat Aceh yang pernah mengalami tsunami 2004, banjir besar ini menghadirkan trauma kolektif. Bedanya, jika tsunami datang dari laut, maka bencana kali ini lahir dari daratan—dari hutan yang rusak dan pengelolaan lingkungan yang gagal.

Banjir ini menjadi pengingat pahit bahwa kerusakan alam tidak pernah datang tanpa konsekuensi. Apa yang diambil dari hutan, pada akhirnya akan kembali dalam bentuk bencana.

Alarm Keras untuk Aceh

Banjir besar Aceh 2025 seharusnya menjadi alarm keras. Ultimatum yang diabaikan kini berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan. Penanganan darurat memang penting, tetapi tanpa evaluasi serius terhadap tata kelola hutan dan penegakan hukum lingkungan, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Aceh kini berada di persimpangan: melindungi hutannya sebagai warisan dan pelindung kehidupan, atau terus membiarkan eksploitasi hingga bencana menjadi rutinitas tahunan.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *