Aceh 10 Desember 2025 —
Di tengah air bah yang melumat rumah, muncul kisah lain yang jauh lebih kelam: relawan yang datang membawa bantuan justru dipaksa membayar tarif selangit untuk menyeberangkan logistik kemanusiaan. Di Kuta Blang, Bireuen, biaya penyeberangan bantuan disebut mencapai Rp1,4 juta hanya untuk jarak sekitar 150 meter.
Para relawan yang turun langsung menceritakan bagaimana pungutan itu dipaksakan.
Mereka menegaskan adanya biaya harlan yang melarang relawan mengangkat logistik sendiri, serta ongkos boat yang dipatok jauh di atas nalar. Total pungutan itu membuat bantuan seolah menjadi “komoditas yang wajib membayar upeti”.
Salah satu relawan berkata dengan getir,
“Ini benar-benar mencekik. Kami datang membawa bantuan, bukan membawa anggaran untuk diperas. “Pungutan Liar” (Pungli) seperti ini tidak masuk akal.”
Fakta ini memicu reaksi keras dari Pemerhati Publik Aceh, Drs. M. Isa Alima, serta Ketua PBN Aceh, yang sama-sama mengecam praktik tersebut sebagai pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
“Perilaku seperti ini adalah bencana baru,” tegas Isa Alima. “Air menenggelamkan rumah, tetapi keserakahan menenggelamkan nurani. Mengambil kesempatan dalam kesempitan adalah tindakan yang dikutuk akal sehat, moral, dan agama.”
Ketua PBN Aceh menambahkan dengan tajam,
“Saat relawan membawa harapan, mereka dijerat pungutan liar. Ini bukan bantuan jasa, ini pemerasan. Luka seperti ini harus dihentikan.”
Keduanya menyerukan tindakan tegas dan terpadu dari seluruh pemangku otoritas.
“APH, Pemda, dan para ulama yang memahami hukum agama, bersuara dan bertindaklah. Lihat dari semua unsur: sosial, hukum, adat, dan syariat. Jelaskan batas benar-salahnya, tegur para pelaku, dan tindak sesuai aturan. Jangan biarkan mereka berlindung di balik alasan situasi darurat,” ujar Isa Alima.
Aceh sedang berduka. Air mengalir di jalan-jalan, tetapi yang mengalir lebih deras adalah rasa kecewa terhadap oknum yang menjadikan musibah sebagai ladang keuntungan.
Kini masyarakat menunggu langkah nyata:
apakah hukum hadir,
apakah pemerintah berdiri tegak,
dan apakah suara ulama memagari moral yang mulai retak.
Karena ketika keserakahan tumbuh di atas musibah, itu bukan hanya pelanggaran, itu adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.






