
DAILY MAIL INDONESIA.COM—Tulang Bawang Barat, Menjelang akhir tahun 2025 ini, muncul perkembangan menarik dari kajian empiris di lapangan terkait konflik agraria antara Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa dan PT. Huma Indah Mekar (HIM). Konflik yang telah berlangsung lebih dari empat dekade ini kembali memasuki fase baru, mengubah peta perjuangan yang selama ini stagnan.
Dari Tuntutan 1.470 Hektar ke Putusan NO
Pada babak awal perjuangan di jalur peradilan, Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa menggugat tanah seluas 1.470 hektar yang berada dalam wilayah HGU No. 16 Tahun 1989, tepatnya di kawasan Pal 133–139.
Pada tahun 2021, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandar Lampung mengeluarkan putusan yang sangat menentukan yakni Niet Vankelijk Verklaard (NO). Putusan NO ini tidak menyatakan menang atau kalah tetapi menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
Implikasinya lebih jauh bahwa putusan NO bisa dimaknai bahwa baik Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa maupun PT. HIM sama-sama memiliki dasar hukum yang kuat sehingga hakim tidak dapat memutus pokok perkara siapa yang menang siapa yang kalah.
Karena sifatnya yang tidak menyentuh substansi sengketa, putusan NO membuka ruang bagi pihak penggugat untuk mengajukan gugatan baru, sepanjang dapat menyertakan bukti tambahan atau bukti baru.
Masuk ke PN Menggala: Gugatan 39/Pdt.G/2025/PN Mgl
Pasca putusan NO 2021, gugatan baru kembali diajukan pada 2025 melalui Pengadilan Negeri Menggala dengan nomor registrasi 39/Pdt.G/2025/PN Mgl.
Pada Rabu, 21 Oktober 2025, para pihak bersama majelis hakim PN Menggala melakukan peninjauan lapangan di titik objek sengketa di Tiyuh Bandar Dewa, Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Penulis turut hadir menyaksikan proses ini, yang menunjukkan bahwa perkara telah bergerak serius ke tahap pembuktian lapangan.
Perubahan Strategi: Dari Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa ke Keturunan Hi. Madroes
Perubahan signifikan muncul dalam gugatan tahun 2025 ini. Penggugat tidak lagi mengatasnamakan Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa, melainkan fokus pada keturunan Hi. Madroes (keturunan ke-3), dengan tuntutan tanah yang dipersempit menjadi 294 hektar.
Meski demikian, pendekatan argumentasi tetap sama dengan gugatan 1.470 hektar sebelumnya yakni klaim historis kepemilikan sejak era Hindia Belanda, yang diyakini diwariskan kepada keturunan Hi. Madroes.
Perubahan cakupan gugatan ini mengundang pertanyaan strategis:
Mengapa tidak lagi memakai nama besar Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa ?
Apakah ini koreksi strategi hukum setelah puluhan tahun perjuangan tidak membuahkan hasil signifikan ?
Ataukah ini bagian dari langkah bertahap mulai dari klaim yang paling kuat dan paling mudah dibuktikan di lapangan ?
Jika benar demikian, maka gugatan 294 hektar bisa dianggap sebagai manuver taktis politik hukum yang lebih realistis, terukur, dan memiliki peluang kemenangan lebih besar dari perjuangan sebelumnya.
Potensi Yurisprudensi Baru
Jika pada akhirnya PN Menggala mengabulkan gugatan keturunan Hi. Madroes atas lahan 294 hektar tersebut, maka keputusan tersebut bisa menjadi:
Sebagai yurisprudensi penting, landasan pembuktian yang menguatkan klaim historis masyarakat adat, serta pintu masuk bagi gugatan-gugatan berikutnya yang diajukan oleh keturunan lain dari Masyarakat Lima Keturunan Keluarga Bandar Dewa atas bagian lain dari total klaim 1.470 hektar.
Karena letak objeknya sama dan berada dalam satu hamparan tanah yang diklaim sejak awal, dan kemenangan 294 hektar berpotensi menjadi preseden kuat yang dapat menggoyahkan posisi hukum PT. HIM ke depan atau menjadi konflik baru.
( PENULIS KETUA, K3PP AHMAD BASRI )
( Red )




