Banda Aceh – Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menegaskan bahwa Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tidak boleh ditafsirkan secara serampangan oleh pihak mana pun, termasuk politisi nasional. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala BRA, Jamaluddin, sebagai respons atas komentar anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Benny K Harman, yang menyebut bahwa masyarakat Aceh tidak perlu terus mengangkat isu MoU yang telah berusia dua dekade.
Jamaluddin menilai pernyataan tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap posisi MoU Helsinki dalam struktur hukum Indonesia. Ia mengingatkan bahwa MoU bukan hanya dokumen politik, tetapi juga memiliki dasar yuridis kuat sebagaimana tertuang dalam konsideran (e) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“MoU Helsinki adalah komitmen bersama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai dan bermartabat. Ini bukan dokumen yang bisa diabaikan begitu saja,” ujar Jamaluddin, yang juga tengah menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Syiah Kuala.
Ia menegaskan bahwa hingga 20 tahun berjalan, masih banyak poin penting dalam MoU yang belum sepenuhnya direalisasikan oleh Pemerintah Pusat. Sejumlah kewenangan dan hak-hak Aceh yang telah disepakati masih menunggu pemenuhan.
Selain itu, Jamaluddin meminta Benny K Harman meninjau kembali Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Inpres tersebut menugaskan Gubernur Aceh untuk menjalankan proses reintegrasi, termasuk pemberdayaan mantan kombatan.
“Melalui dasar hukum itulah kemudian Pemerintah Aceh membentuk Badan Reintegrasi Aceh sebagai wadah untuk memperkuat proses reintegrasi dan membantu korban konflik,” jelasnya.
Jamaluddin menegaskan bahwa perjuangan rakyat Aceh belum selesai. Meskipun perdamaian telah berlangsung selama dua dekade, implementasi penuh MoU Helsinki masih menjadi pekerjaan rumah besar.
“Selama hak-hak Aceh belum terpenuhi, wajar jika MoU terus dibicarakan. Ini bukan soal masa lalu, tapi soal komitmen negara terhadap perjanjian damai,” tutupnya.(**)












