MEULABOH | Jalan berliku dan berbatu tak pernah menjadi alasan bagi Antoni untuk surut semangat menjalankan tugasnya. Setiap hari, lelaki berperawakan tegap itu duduk di balik kemudi bus Damri Perintis, mengarungi rute panjang dari Terminal Tipe A Meulaboh menuju pedalaman Desa Alue Kuyun, Kabupaten Aceh Barat. Rute ini dikenal sulit dilalui, namun justru menjadi urat nadi bagi masyarakat pedalaman yang bergantung pada transportasi darat bersubsidi dari pemerintah tersebut.
Antoni telah bertahun-tahun menjadi bagian dari layanan Damri Perintis. Baginya, setiap perjalanan bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk pengabdian untuk membuka akses masyarakat di wilayah terpencil. “Saya senang bisa membantu warga desa. Banyak di antara mereka yang tidak punya kendaraan sendiri, jadi bus ini sangat berarti bagi mereka,” ujarnya sambil tersenyum, mengenang perjalanan-perjalanan panjang yang ia tempuh hampir setiap hari.
Setiap pagi, kursi-kursi bus Damri yang ia kemudikan jarang sekali kosong. Penumpang didominasi oleh ibu-ibu berseragam putih yang bekerja sebagai tenaga kesehatan atau guru di daerah pedalaman, serta para “nyak-nyak” — sebutan akrab bagi ibu-ibu pedesaan — yang menenteng barang belanjaan dari kota. Suasana hangat sering tercipta di dalam bus; canda ringan, cerita perjalanan, hingga doa bersama ketika bus harus melewati tanjakan licin atau jalan berlumpur.
Antoni paham betul bahwa medan yang ia lalui tidak mudah. Beberapa ruas jalan masih rusak parah, apalagi saat musim hujan tiba. Namun, di balik kesulitan itu, ia menemukan kebanggaan tersendiri. “Kalau bukan kita yang melayani mereka, siapa lagi?” katanya mantap.
Program Damri Perintis merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan Aceh untuk menyediakan layanan transportasi publik bagi masyarakat di daerah tertinggal, terluar, dan terisolir. Subsidi diberikan agar tarif tetap terjangkau dan aktivitas ekonomi masyarakat desa dapat terus bergerak.
Bagi warga Alue Kuyun dan sekitarnya, bus Damri bukan sekadar alat transportasi — melainkan jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar. Dari bus inilah mereka bisa menjual hasil bumi ke kota, membeli kebutuhan pokok, atau sekadar berkunjung ke keluarga di Meulaboh.
Kini, kisah Antoni menjadi inspirasi tentang dedikasi seorang pekerja transportasi yang mengabdi tanpa pamrih. Di tengah keterbatasan fasilitas dan medan yang berat, semangatnya terus menyalakan harapan bagi warga pedalaman Aceh Barat.(**)






