Banda Aceh – Panitia Khusus (Pansus) Mineral, Batu Bara, serta Minyak dan Gas DPR Aceh mengungkap fakta mengejutkan soal praktik setoran uang keamanan dari pemilik ekskavator tambang ilegal kepada aparat penegak hukum. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 360 miliar per tahun dan disebut telah berlangsung lama.
Sekretaris Pansus DPR Aceh, Nurdiansyah Alasta, menyebutkan kondisi lingkungan di Aceh rusak parah akibat praktik tambang ilegal yang dilakukan secara masif. Para penambang ilegal disebut berkolaborasi dengan aparat, pemodal, dan pengusaha minyak ilegal.
“Setiap ekskavator diwajibkan menyetor Rp 30 juta per bulan kepada penegak hukum di wilayah masing-masing. Dengan jumlah sekitar 1.000 unit ekskavator yang beroperasi di 450 titik tambang ilegal, total setoran mencapai Rp 360 miliar per tahun.
Praktik haram ini sudah lama dibiarkan tanpa ada upaya pemberantasan,” ungkap Nurdiansyah dalam paripurna DPR Aceh, Kamis (25/9/2025).
Adapun lokasi tambang ilegal yang terdata tersebar di Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, hingga Pidie.
Desak Gubernur Tutup Tambang Ilegal
Dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Aceh Zulfadli dan dihadiri Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), Pansus DPR Aceh mendesak pemerintah segera menutup seluruh aktivitas tambang ilegal.
Pansus juga mendorong agar pengelolaan tambang diberikan secara legal kepada koperasi desa yang bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui BUMD.
“Dengan begitu, tambang dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat, bukan justru merusak lingkungan dan memperkaya segelintir pihak,” jelas Nurdiansyah.
Selain soal setoran ilegal, Pansus DPR Aceh juga menyoroti semrawutnya penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). DPR meminta Gubernur segera menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) tentang penataan izin pertambangan, serta membentuk Satgas Khusus (Satgasus) untuk mengevaluasi seluruh izin yang diterbitkan oleh DPMPTSP dan Dinas ESDM Aceh.(**)