Refleksi Hardikda ke-66: Dari Tekad Bulat Indatu Menuju Karya Nyata Sang Guru untuk Aceh Unggul dan Maju

Pendidikan32 Dilihat

Oleh: JUNAIDI, SST., M.Pd. Kepala Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan, Dinas Pendidikan Aceh.

Banda Aceh – Gema takbir dan hentakan kaki para peserta upacara di seluruh penjuru Tanah Rencong pada pagi hari ini, Selasa, 2 September 2025, bukan sekadar seremoni rutin.

Ini adalah sebuah gema yang merambat melintasi waktu, sebuah resonansi dari semangat yang sama yang berkobar 66 tahun silam, ketika Presiden Soekarno meresmikan Tugu Darussalam dan menitahkannya sebagai jantung hati (jantong hate) rakyat Aceh.

Hari ini, di bawah langit Aceh yang cerah, kita tidak hanya memperingati, tetapi juga menggugat kembali diri kita: Sudah sejauh mana kita membawa amanah pendidikan yang diperjuangkan dengan darah, keringat, dan harta benda oleh para pendahulu (indatu) kita?

Tema Hardikda ke-66, “Wujudkan Pendidikan Unggul Menuju Aceh Maju,” bukanlah sekadar untaian kata indah. Ia adalah sebuah kontrak sosial, sebuah janji yang harus kita tunaikan bersama.

Sebagai Kepala Bidang yang diamanahkan untuk membina para guru dan tenaga kependidikan, pasukan terdepan di medan perang kecerdasan, tema ini terasa begitu personal dan mendalam.

Ia adalah denyut nadi dari setiap program yang kami rancang, setiap kebijakan yang kami rumuskan, dan setiap harapan yang kami titipkan di pundak para pendidik.

Setiap kali saya memandang Tugu Darussalam, saya tidak melihatnya sebagai monumen batu.

Saya melihatnya sebagai manifestasi dari “tekad bulat yang melahirkan perbuatan nyata.” Kopelma Darussalam tidak lahir dari ruang hampa.

Ia lahir dari kesadaran kolektif para ulama, cendekiawan, dan pemimpin Aceh pasca-konflik bahwa satu-satunya jalan menuju kemuliaan dan perdamaian abadi (Darussalam) adalah melalui gerbang pendidikan.

Mereka mewakafkan segalanya bukan untuk membangun menara gading, melainkan untuk membangun “dapur peradaban” tempat generasi-generasi terbaik Aceh akan ditempa.

Cita-cita pendiriannya sangat jelas: mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan iman dan takwa, menyatukan kecerdasan akal dengan kemuliaan akhlak.

Pendidikan di Aceh, sejak zaman Sultan Iskandar Muda hingga Teungku Chik di Tiro, tidak pernah bisa dipisahkan antara agama dan budaya. Keduanya menyatu lagee Zat ngon Sifeut (bagaikan Zat dengan Sifatnya), tak terpisahkan. Inilah DNA pendidikan kita.

Inilah yang harus menjadi ruh dari “Pendidikan Unggul” yang kita cita-citakan. Keunggulan kita bukan hanya pada skor sains dan matematika, tetapi pada lahirnya generasi yang pengetahuannya menerangi, namun imannya menuntun.

*Dari Angka ke Makna dalam Potret Pendidikan Aceh Hari Ini*

Alhamdulillah, semangat itu kini mulai berbuah nyata. Refleksi Hardikda ini adalah momen yang tepat untuk bersyukur seraya mengevaluasi.

Pidato Bapak Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf, yang pagi tadi menggema di seluruh lapangan upacara, memberikan apresiasi mendalam kepada insan pendidikan. Apresiasi itu bukanlah basa-basi, ia didukung oleh data yang membanggakan.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh yang kini menyentuh angka 75,99 dan masuk dalam kategori “Tinggi” adalah bukti kuantitatif dari kerja keras kolektif kita.

Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) kita mencapai 14,42 tahun, sebuah lonjakan harapan bahwa anak-anak Aceh kini berani bermimpi untuk mengenyam pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi.

Peringkat kelima nasional dalam kelulusan SNBP dengan persentase tertinggi se-Indonesia (43,97%) bukanlah kebetulan. Ini adalah buah dari tetesan keringat para guru yang tak kenal lelah membimbing di kelas, di laboratorium, dan di sanggar-sanggar belajar.

Ketika saya mendengar kabar siswa-siswi kita dari SMAN 7 dan SMA Labschool Banda Aceh meraih medali perak di ajang inovasi JDIE 2025 di Jepang, hati saya bergetar.

Mereka tidak hanya membawa nama sekolah, mereka membawa marwah Aceh ke pentas dunia. Mereka membuktikan bahwa anak-anak Aceh mampu bersaing, berinovasi, dan berdiri setara dengan bangsa-bangsa lain. Inilah sebagian kecil dari makna “Pendidikan Unggul” yang mulai kita rasakan.

*Peran Sentral Sang Guru dan Mandat Kami di GTK*

Di balik setiap angka statistik yang membanggakan dan setiap medali yang mengilap, ada satu sosok sentral yaitu Sang Guru. Merekalah arsitek di ruang kelas, motivator yang menyalakan api semangat, dan teladan yang membentuk karakter. Tanpa guru yang berkualitas, berdedikasi, dan sejahtera, tema “Pendidikan Unggul” hanya akan menjadi angan-angan.

Di sinilah letak jantung dari tugas kami di Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK). Kami adalah “pelayan” bagi para guru. Tugas kami adalah memastikan para “arsitek” ini memiliki semua perangkat terbaik untuk membangun peradaban.

Program-program seperti percepatan sertifikasi melalui PPG, pelatihan berbasis teknologi, lokakarya inovasi pembelajaran, hingga program Apresiasi GTK Berprestasi yang pernah diselenggarakan, semuanya bermuara pada satu tujuan: memberdayakan guru agar mereka dapat memberdayakan siswa.

Kami sadar sepenuhnya, mandat kami bukan sekadar urusan administratif. Mandat kami adalah menjaga api semangat para guru agar terus menyala.

Karena ketika seorang guru merasa dihargai, didukung, dan terus dikembangkan kompetensinya, ia akan mentransfer energi positif itu menjadi pembelajaran yang membebaskan dan mencerahkan di dalam kelas.

Perjuangan kita di daerah tidak berjalan sendirian. Kita adalah bagian tak terpisahkan dari visi besar pendidikan nasional.

Program prioritas yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI ibarat angin yang mendorong layar kapal pendidikan Aceh.

Ketika kementerian berbicara tentang Wajib Belajar 13 Tahun dengan satu tahun PAUD, ini sejalan sempurna dengan upaya kita di Aceh untuk membangun fondasi pendidikan yang kokoh sejak dini.

Ketika kementerian mendorong kurikulum yang memuat coding dan AI, ini adalah peluang emas bagi kita untuk mengakselerasi lahirnya generasi Aceh yang melek teknologi, menjawab tantangan “Aceh Maju” di era digital.

Program revitalisasi SMK dari pusat adalah bahan bakar bagi kita untuk mencetak wirausahawan dan tenaga kerja terampil yang akan menjadi motor penggerak ekonomi Aceh. Ada juga program pembelajaran mendalam, mengakselerasi pendidikan secara nasional.

Tugas kita di daerah adalah menjadi penerjemah dan pelaksana yang cerdas dari visi besar tersebut. Kita harus mampu mengadaptasi kebijakan nasional dengan kearifan lokal kita, memastikan setiap program yang turun benar-benar menyentuh kebutuhan nyata di sekolah-sekolah dari Sabang hingga Singkil, tanpa terkecuali.

*Cermin Indatu dan Tantangan di Hadapan Mata*

Dalam perayaan ini, ada baiknya kita merenungi sebuah Hadih Madja (pepatah) yang sering diucapkan para orang tua kita: “Ureuëng jameun Cit ka Meutente, geutanyoë jinoë mantong tarika-rika.” Artinya, “Orang-orang zaman dahulu begitu cerdas dan pintar memprediksi, kita hari ini masih meraba-raba.”

Pepatah ini bukanlah untuk membuat kita minder, melainkan sebuah cambuk kerendahan hati. Ia mengingatkan kita bahwa indatu kita telah meletakkan standar keunggulan yang sangat tinggi. Mereka adalah para ulama yang alim, negarawan yang visioner, dan pejuang yang gigih.

Tantangan bagi kita bukanlah sekadar mengenang kehebatan mereka, tetapi berjuang untuk setidaknya menyamai, bahkan melampaui, standar tersebut di konteks zaman kita.

Di tengah euforia prestasi, kita tidak boleh buta terhadap pekerjaan rumah yang masih menumpuk. Angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) kita yang masih di 9,63 tahun adalah sebuah pengingat bahwa masih banyak saudara kita yang belum menamatkan pendidikan menengah atas.

Isu pemerataan guru yang berkualitas antara perkotaan dan daerah terpencil masih menjadi tantangan nyata. Inilah ladang jihad kita yang sesungguhnya. Jihad melawan ketidakmerataan, jihad melawan keterbatasan, dan jihad melawan rasa cepat puas diri.

*Harapan dan Komitmen Baru: Dari Tekad Menuju Karya*

Maka, di momentum Hardikda ke-66 ini, mari kita perbarui komitmen kita. Perjuangan mewujudkan pendidikan unggul bukanlah tugas Dinas Pendidikan semata, bukan pula hanya beban para guru.

Nah, ini adalah perjuangan semesta rakyat Aceh. Para orang tua di rumah, para pemimpin di masyarakat, para pengusaha di dunia industri, semua memiliki peran.

Harapan terbesar saya, sebagai pembina para guru, adalah melihat setiap pendidik di Aceh menjadi sosok yang dirindukan kehadirannya, yang kata-katanya menginspirasi, dan yang teladannya membentuk karakter.

Saya berharap ruang-ruang kelas kita tidak lagi menjadi tempat mentransfer informasi, tetapi menjadi sebuah gelanggang untuk bertukar gagasan, menumbuhkan kreativitas, dan merayakan kemanusiaan.

Perjalanan kita masih panjang dan terjal. Namun, dengan berpegang pada spirit Darussalam yang diletakkan oleh para indatu, dengan merawat api semangat para guru kita, dan dengan bergandengan tangan dalam satu barisan, insya Allah, tema “Wujudkan Pendidikan Unggul Menuju Aceh Maju” tidak akan berhenti sebagai slogan. Ia akan menjelma menjadi karya nyata yang hasilnya akan dinikmati oleh anak cucu kita di masa depan.

Selamat Hari Pendidikan Daerah Aceh ke-66. Mari terus bergerak, berkarya, dan menginspirasi. (**) 2 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *