Banda Aceh — Di tengah hiruk-pikuk opini dan pernyataan yang berseliweran di ruang publik, kita berharap pentingnya menjaga lisan dan tulisan agar tidak lahir dari kebencian.
Sebuah Susunan kata berbunyi “Saat Negeri Ditulis dengan Cinta, Bukan Dendam”, kita mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya para pemangku kebijakan dan generasi muda, untuk bijak dalam menyampaikan kritik dan pandangan.
> “Jangan utarakan statemen karena benci,”
“karena itu tidak baik untuk kehidupan abadi.”
Hal ini bukan sekadar nasihat biasa. Ia lahir dari keprihatinan atas kegaduhan sosial dan politik yang kerap dipicu oleh kata-kata penuh emosi, cacian, dan niat menjatuhkan, bukan membangun. Dalam suasana seperti ini, masyarakat menjadi korban nyata: kesulitan mencari rezeki, hidup dalam ketidakpastian, dan terbelah oleh provokasi yang tidak perlu.
Cacimaki bukan solusi.
Ujaran yang lahir dari dendam hanya menambah luka pada tubuh bangsa. Terlebih di Aceh, tanah yang kaya akan sejarah, marwah, dan perjuangan, setiap kata semestinya menjadi jembatan peradaban, bukan pemantik perpecahan.
Saatnya kita lebih memilih mencari solusi daripada saling menyalahkan.
Generasi muda Aceh harus menatap masa depan dengan pandangan jernih dan hati yang bersih, demi menjaga warisan negeri ini untuk anak cucu.
> “Warisan sejati bukan bangunan megah atau gelar kosong,” ,
“tetapi nilai, integritas, dan kehormatan yang ditanamkan hari ini.”
Pesan ini menjadi pengingat bahwa sejarah tidak ditulis oleh mereka yang paling keras bersuara, tetapi oleh mereka yang bekerja dalam diam, dengan cinta yang tulus, untuk negeri, untuk rakyat, dan untuk masa depan yang lebih baik.
Akhirnya, harapan ini bukan hanya kita tujukan kepada pejabat atau tokoh publik, melainkan untuk kita semua termasuk saya. Karena pada akhirnya, negeri ini akan dikenang bukan karena apa yang kita miliki,
tetapi karena bagaimana kita menjaganya.(**)
