Banda Aceh – Upaya tegas Wali Kota Banda Aceh, Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal, dalam menegakkan syariat Islam mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Dr. Jummaidi Saputra, S.H., M.H., CPM, yang memuji langkah konkret Wali Kota turun langsung ke lapangan melakukan razia di sejumlah hotel dan tempat hiburan malam.
Razia tersebut berhasil menjaring pelaku berbagai pelanggaran syariat seperti mesum, khalwat, konsumsi khamar, praktik prostitusi, hingga penyalahgunaan narkoba.
“Gebrakan ini sangat dinantikan sejak awal kepemimpinan Illiza. Aksi ini bukan hanya simbolik, tapi memberikan dampak besar terhadap penegakan syariat Islam di Aceh, menghidupkan kembali marwah syariat, serta meningkatkan kepercayaan diri aparat penegak hukum,” ujar Dr. Jummaidi dalam rilis yang diterima media, Senin (21/4/2025).
Ia menegaskan bahwa penegakan hukum harus mendapatkan dukungan penuh dari kepala daerah. Dalam perspektif hukum, pemerintah memiliki kekuasaan untuk memastikan pelaksanaan hukum secara efektif. “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum akan membawa kepada anarki,” tegasnya.
Dasar Hukum dan Jejak Sejarah Penegakan Syariat di Aceh
Dr. Jummaidi menjelaskan bahwa secara yuridis, penerapan syariat Islam di Aceh memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Di antaranya Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 125 Ayat (1), yang menyebutkan bahwa syariat Islam yang dijalankan di Aceh meliputi aspek akidah, syariah, dan akhlak.
Secara historis, Aceh juga memiliki warisan penegakan hukum yang kuat. Ia mencontohkan masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, yang bahkan menghukum mati putranya sendiri, Meurah Pupok, karena melanggar hukum. “Ini menunjukkan integritas dan konsistensi dalam penegakan hukum, tanpa pandang bulu,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai bahwa tindakan tegas Wali Kota Banda Aceh patut mendapat dukungan agar syariat Islam tidak dipandang sebagai simbol semata. Apalagi, sebagai ibu kota provinsi, Banda Aceh harus menjadi contoh penerapan syariat Islam yang komprehensif.
Mayoritas Pelanggar adalah Remaja, Sanksi Harus Tegas
Menurutnya, mayoritas pelanggaran syariat dilakukan oleh kalangan remaja, mencerminkan kondisi moral generasi muda yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, penegakan syariat tidak cukup hanya berhenti pada razia, tetapi harus berlanjut pada pemberian sanksi yang sesuai dengan qanun yang berlaku.
Ia juga menyoroti peran badan usaha dalam menyediakan fasilitas yang menjadi lokasi pelanggaran syariat. “Selama fasilitas itu ada, pelanggaran akan terus berulang. Pemerintah harus tegas mencabut izin usaha dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,” tegasnya.
Dalam pasal 33 ayat (3) qanun tersebut disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina dapat dikenakan sanksi berupa 100 kali cambuk, denda maksimal setara 1.000 gram emas, dan/atau hukuman penjara hingga 100 bulan.
Kondisi Darurat Pelanggaran Syariat dan Ancaman LGBT
Jummaidi juga menilai saat ini Banda Aceh berada dalam kondisi darurat pelanggaran syariat. Salah satu bentuk pelanggaran yang menjadi perhatian serius adalah praktik open BO dan perilaku menyimpang seperti liwath (LGBT), yang menurut data Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, menjadi penyumbang utama kasus HIV/AIDS di daerah tersebut. Hingga kini, tercatat 530 kasus HIV/AIDS, mayoritas disebabkan oleh perilaku LGBT.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah agar melengkapi penegakan hukum dengan pendekatan preventif, seperti edukasi di sekolah, pembinaan moral, serta penutupan tempat-tempat yang rawan pelanggaran.
“Pemerintah juga perlu membentuk pusat pembinaan akhlak dan moral bagi pelanggar syariat agar mereka tidak mengulangi perbuatan yang sama. Banyak dari mereka melanggar karena faktor ketidaktahuan atau tekanan ekonomi,” ungkap Jummaidi.
Di akhir pernyataannya, Dr. Jummaidi menekankan bahwa keberanian dan ketegasan Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal dalam menegakkan syariat Islam harus mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat.
“Langkah ini merupakan titik awal untuk mengangkat kembali marwah penegakan Qanun Jinayat di Aceh. Meski penuh tantangan, ini adalah ikhtiar yang harus kita dukung bersama,” tutupnya.(**)